Postingan

Jumat: Seutas Tali Vignet Pekan Ini

Gambar
  Menjalani asa setelah berhari-hari bergumul dengan list keseharianku. Melompat sana-sini dari satu tempat ke tempat lain. Satu kota ke kota lain.  Mungkin terlihat lelah. Tapi itu yang aku butuhkan dalam hidup. Daya pantik energi yang adalah bersastra dan bersuara menuntut keadilan lingkungan, aku jalani hanya dalam rentang waktu kurang dari 24 jam.  Rasanya seperti terjebak dalam jarum detik jam yang bergerak mengikuti arah mata angin. Tapi bedanya, aku mengikuti intuisiku secara penuh. Menelusuri Jakarta dan menyusuri Semarang. Banyak manusia dan alam yang kujumpai, membuatku tersenyum dalam menyenandungkan makna bersyukur pada Tuhan dan semesta.  Di pinggir jendela menatap hamparan kebun berbatasan dengan garis pantai. Melamun di kereta sambil duduk di kursi ekonomi, tempat orang berlalu-lalang kedinginan dan berpeluh ketidaknyamanan.  Walau yang kukonsumsi produk untuk kelas rakyat bawah, tapi aku bermimpi tak ingin ada peletakan petaka seperti itu. Kita semua sama-sama bernafas

Dilema Kepemilikan Tanah: Pemikiran Amatir Pencari Keadilan

Gambar
Miris dan menimbulkan dilema di masyarakat, "Masyarakat Pundenrejo kan  ga punya sertifikat tanah. Nah, secara bukti yang lebih legal adalah yang punya sertifikat tanah donk ?" Sontak, aku juga bingung kala itu.  Tapi, berkat beberapa pihak yang memberikan penjelasan bahwa lebih penting konstitusi yang lebih tinggi yaitu Undang-undang dasar 1945 dan kemudian mengacu kepada  Undang-undang nomor 5 tahun 1960 Tentang Undang-undang Pokok Agraria (UU PA) daripada peraturan di bawahnya yang mengatur kepemilikan sertifikat tanah  masyarakat.  1. Utamakan Lex superior derogate legi inferiori untuk kemakmuran rakyat  Asas lex superior derogate legi inferiori dapat diartikan bahwa peraturan perundang-undangan yang mempunyai derajat lebih rendah dalam hierarki peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi. Undang-undang yang lebih tinggi dari permasalahan sertifikat tanah ini yaitu UU Pasal 33 UUD 1945, hal itu berbunyi, "Bumi dan air dan kekayaan

Nafas Pundenrejo dalam Perjuangan

Gambar
  (Malam perlawanan sebelum penanaman) Malam itu, bulan menyinari aktivitas warga Desa Pundenrejo, Kecamatan Tayu, Pati yang berkumpul sejak sore hingga pukul 22.00 WIB. Jumat, 27 September 2024 silam, belasan mahasiswa, pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, dan warga menggelar pertunjukkan seni. Hal ini sebagai bentuk protes terhadap PT Laju Perdana Indah (LPI) yang sudah tidak mempunyai hak untuk menguasai lahan garapan petani Pundenrejo. Pasalnya, pada tanggal 27 September 2024, Hak Guna Bangunan (HGB) PT LPI sudah habis. Malam pertunjukkan seni yang sebagai bentuk protes warga, diisi oleh berbagai penampilan yang menyanyikan nafas perjuangan. Mulai dari Koalisi Anak-anak Pundenrejo, Sastra Sastro, pemaparan lukisan dari salah satu mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, hingga puisi yang dipersembahkan oleh beberapa mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) bertemakan perjuangan petani.   “ Di kampung kami tanah-tanah dikutuk, tetangga digusur, yang protes jad

Aku, Lingkungan, dan Kamisan

Gambar
Sumber: Jakartanicus Kakiku melangkah pasti setiap datang sore hari menuju depan bangunan putih biang oligarki yang monarki. Sambil menuruni transportasi umum masyarakat kelas pekerja, aku selalu bertanya dalam hati, “Mengapa setiap datang ke Aksi Kamisan selalu hujan ya?”. “Biarlah alam yang menjawabnya,” gumamku. Ya, memang biasanya setiap liburan, aku kembali ke rumah di Jakarta dan aku usahakan untuk hadir ke Aksi Kamisan, setelah sebelumnya mengenal Aksi Kamisan Semarang. Belajar dan berempati tentang berbagai kasus kemanusiaan yang diabaikan oleh negara membuatku merasakan harmoni yang sama ketika terpanggil untuk menuntut negara pada Aksi Kamisan, dimanapun aku berada.  Menyuarakan isu kerusakan lingkungan di Semarang menjadi sumber ketertarikanku untuk bersolidaritas menyuarakan hak tempat hidup yang layak bagi setiap manusia.  Tenggelamnya pesisir Semarang akibat gencarnya pembangunan industri dan tol laut di Semarang, mengorbankan lebih dari 7 dusun yang kini hilang dihapus o

Seberapa Dekat Kita dengan Mimpi?

Gambar
Halo, inilah kita  Para pengembara kehidupan. Sekarang aku sedang di kereta. Menikmati apa yang kau sebut "menanti". Lantas, menanti apa? Menanti mimpi Yang kita perjuangkan Menanti sosok Yang sekadar jadi ruang Untuk bercerita Kini aku merenungi diri Di lorong kereta Dalam keadaan sadar  Ternyata hidup Tidak seperti yang kita mau Hidup seperti perjalanan Yang entah menemukan Titik akhirnya Atau tidak Memang ada ruang  Untuk singgah Tapi selebihnya Kita terus berjalan Perihal buah dari usaha Aku hanya ingin cerita Jika kita telah mengusahakannya Tapi tidak tergenggam Percayalah Itu memang bukan milikmu Itu adalah pertanda  Untuk dirimu Agar terus mencari Apa celah Yang perlu kau gali  Agar kau Bisa tertidur dalam tenang  Dan rindang Jika yang kau kejar Ternyata ada di pijakanmu Percayalah Itu jejak kaki yang tepat Untuk kau kenang Ya, itulah rezekimu Kita tak pernah tau Arah mana  Yang akan beri angin segar Dikala kita kepanasan Dan hilang arah Kerap kali Kita lebih ingin air

Apakah Hewan Merasakan Kesakitan Ketika akan Dimakan?

Gambar
Sumber: Act for Farmed Animals    Amerika Serikat dan Australia tercatat sebagai negara dengan konsumsi daging tertinggi, masing-masing 124 kg dan 116 kg per kapita per tahun. Sebaliknya, India dan Ethiopia memiliki konsumsi terendah, hanya 4.4 kg per kapita per tahun. Sedangkan Indonesia berada di tengah-tengah dengan konsumsi sekitar 30 kg per kapita per tahun (Katadata, 2023).     Menurut FAO Food Outlook 2023-2032, yang memberikan Gambaran prospek 10 tahun untuk pasar komoditas pertanian dan perikanan di tingkat nasional, regional, dan global, produksi daging di Asia diproyeksikan akan terus meningkat, terutama didorong oleh peningkatan konsumsi di negara-negara berkembang seperti China dan India.    Pada tahun 2032, produksi daging di Asia diperkirakan mencapai sekitar 150 juta ton. Indonesia diperkirakan akan terus meningkatkan produksi daging dan produk susu untuk memenuhi permintaan domestik yang meningkat.  Sumber: Act for Farmed Animals    Masalahnya adalah penggunaan antimik

Pers Kampus Kini: Dituntut Netral, Bukan Kritis

Sejatinya, kampus merupakan ruang akademik yang tak terbatasi oleh sekat-sekat apapun. Akses pengetahuan bisa didapatkan dimana-mana. Tapi, hal itulah yang menjadi pekerjaan baru bagi wartawan rakitan kampus yang hanya ingin sekadar mengetahui isu-isu kampus terlebih dahulu daripada mahasiswa lainnya. Mereka dididik secara teknis dari awal, peliputan, hingga akhir pengemasan berita. Tapi, tak mengkritisi, “Apa yang terjadi di balik ini semua?”. Pencari dan penyebar informasi kampus yang dikader selama beberapa bulan hanya untuk mendapatkan id pers, tentu dituntut untuk menyampaikan berita dengan “netral”. Padahal, dengan sikap wartawan yang netral, justru tidak memberi pesan kemanusiaan dalam setiap beritanya.  Pada pasal 1, kode etik jurnalistik yang diresmikan oleh Dewan Pers Indonesia mengatakan bahwa wartawan harus bersikap independen. Independen dengan netral sendiri sangat berbeda. Melansir dari laman Aliansi Jurnalis Independen, jurnalisme independen adalah kegiatan jurnalisme y