Dilema Kepemilikan Tanah: Pemikiran Amatir Pencari Keadilan
Miris dan menimbulkan dilema di masyarakat, "Masyarakat Pundenrejo kan ga punya sertifikat tanah. Nah, secara bukti yang lebih legal adalah yang punya sertifikat tanah donk?"
Sontak, aku juga bingung kala itu.
Tapi, berkat beberapa pihak yang memberikan penjelasan bahwa lebih penting konstitusi yang lebih tinggi yaitu Undang-undang dasar 1945 dan kemudian mengacu kepada Undang-undang nomor 5 tahun 1960 Tentang Undang-undang Pokok Agraria (UU PA) daripada peraturan di bawahnya yang mengatur kepemilikan sertifikat tanah masyarakat.
1. Utamakan Lex superior derogate legi inferiori untuk kemakmuran rakyat
Asas lex superior derogate legi inferiori dapat diartikan bahwa peraturan perundang-undangan yang mempunyai derajat lebih rendah dalam hierarki peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi.
Undang-undang yang lebih tinggi dari permasalahan sertifikat tanah ini yaitu UU Pasal 33 UUD 1945, hal itu berbunyi, "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."
Selanjutnya, pada pasal 3 UU PA berbunyi, "Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi".
Apakah ini memang kesalahan pribadi masyarakat atau memang tanah ulayat bisa diperjual belikan serta di proses sertifikatnya di Badan Pertanahan Nasional hingga berujung menjadi hak milik perorangan atau badan hukum?
2. Tanah ulayat tak boleh diperjualbelikan, tapi naas, sudah diklaim sebagai HGB oleh PT. LPI
Tanah ulayat tidak bisa diperjual belikan dan bukan menjadi objek pendaftaran tanah berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Mari kita mengulik dalam Peraturan Pemerintah ini. Menyatakan bahwa tanah ulayat tidak termasuk obyek pendaftaran tanah, hal ini dikaitkan dengan Pasal 9 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah ini yaitu ayat (1) bahwa obyek pendaftaran tanah meliputi:
a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai
b. Tanah hak pengelolaan
c. Tanah wakaf
d. Hak milik atas satuan rumah susun
e. Hak tanggungan
f. Tanah negara.
Sementara dalam kasus Pundenrejo, tanah ini telah diklaim oleh pabrik gula pakis, PT Laju Perdana Indah (PT. LPI) sebagai hak guna bangunan. Padahal, tak ada wujud bangunannya melainkan pertanian tebu.
Mirisnya, berdasarkan kriteria obyek pendaftaran tanah dalam PP di atas, lahan tebu yang seharusnya tidak termasuk obyek pendaftaran tanah, melainkan tanah ulayat: menjadi masuk kriteria dalam pendaftaran tanah.
Maka, lengkaplah sudah sertifikat tanah berstatus HGB diklaim oleh PT LPI. Walaupun masa kepemilikan PT. LPI sudah habis.
Jadi, walaupun masyarakat memerjuangkan sertifikat tanah tetap saja: tidak diakui. Karena ATR/BPN akan melayangkan gagasan bahwa tanah ulayat memang tak memiliki sertifikat.
Sehingga tanah ulayat masyarakat adat antara hidup dan mati. Hal ini tentu amat disayangkan karena masih banyak tanah ulayat masyarakat adat diberbagai daerah di Indonesia
Pada pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No.5 tahun 1999 disebutkan bahwa tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.
Sedangkan yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat sesuai pasal 1 ayat (3) adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.
Dalam hal ini masyarakat hukum adat berhak atas tanah ulayat yang diklaim PT LPI bertahun-tahun.
Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, bahwa tanah ulayat bukan merupakan obyek pendaftaran tanah, akan tetapi berdasarkan ketentuan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 pada Pasal 4 ayat (1) dan (2) ini menyebutkan, "Tanah ulayat dapat dikuasai oleh perseorangan dan badan hukum dengan cara didaftar sebagai hak atas tanah apabila dikehendaki oleh pemegang haknya yaitu warga masyarakat hukum adat."
Tapi, apakah saat itu masyarakat dilibatkan dalam proses pendaftaran hak atas tanahnya?
Dari paparan diatas, secara jelas dapat diketahui tanah ulayat bisa dikuasai oleh perseorangan dan badan hukum, padahal tanah ulayat merupakan hak ulayat masyarakat hukum adat yang tidak bisa dibagi dan harus dihormati demi persatuan bangsa sesuai amanat UUPA Pasal 3.
Hal ini tentu membuat bingung masyarakat hukum adat dengan tidak adanya kepastian hukum bagi perlindungan hak mereka.
Yang perlu dipahami bersama, konflik akan terjadi apabila tidak ada kepastian hukum berupa aturan hukum yang jelas mengenai tanah ulayat.
Jangan sampai tanah ulayat dibagi-bagi, bahkan menjadi hak milik perseorangan dan badan hukum. Apalagi diobral hingga identitas lokalnya mulai luntur dan satu persatu anggota keluarga dan generasi selanjutnya pergi merantau dan tidak mengurus tanah ulayat tersebut.
sumber: Pengadilan Agama Cilegon
Komentar
Posting Komentar