Menembang "Lelo Ledung" Bagi Sedulur Sikep dan Wiji Kendeng
"Tak gadang bisa urip mulya
Dadiya wanita utama
Ngluhurke asmane wong tuwa
Dadiya pendekare bangsa..."
Tembang Lelo Ledung ini merupakan wujud doa yang selaras dengan nilai perjuangan para Wiji Kendeng. Sabtu, 18 Januari 2025, yang mana "pasaran kliwon" menurut tanggalan jawa, para sedulur sikep dekat kaki pegunungan Kendeng menapaki kaki untuk "Nyiwer Kendeng Lamporan Singkir Omo".
Apa itu "Nyiwer Kendeng Lamporan Singkir Omo"?
Yap, menurut yang disampaikan para warga ini adalah tradisi turun-temurun yang dilakukan oleh petani di Pegunungan Kendeng, Pati, Jawa Tengah. Tradisi ini dilakukan sebagai ungkapan syukur atas panen yang melimpah, serta untuk mengusir hama pertanian dalam bentuk eksploitasi batuan semen di Pegunungan Kendeng yang berdampak buruk bagi kehidupan sedulur sikep.
Lantas, Apa itu Sedulur Sikep?
Tembang untuk Kendeng
“Kendi lambange tanah air, yoiku sumber panguripan manungso iso ditinggal sopo sopo nanging ora bisa ditinggal “Ibu Bumi” kang wus maringi. Mulo yen ibu bumi di larani, ibu bumi ugo kang bakal ngadili.”
Itulah sepenggal petuah dari Mbok Gunarti yang adalah salah satu dari banyaknya perempuan yang memerjuangkan tanah di Pegunungan Kendeng.
Menilik Tapak Wiji Kendeng
Mengutip dari suarakeadilan.org, Wiji Kendeng merupakan anak-anak (wiji artinya benih) dari pejuang Kendeng (kaki pegunungan karst) karena pabrik semen masih berdiri di (Pati dan) Rembang. Wiji Kendeng tengah meneruskan perjuangan melawan aktivitas yang merusak lingkungan dan masyarakat sekitar Kendeng.
Pejuang perempuan seringkali dianggap sebagai kaum yang sulit terlihat karena keberadaannya yang termarginalkan. Perempuan pada realitanya seringkali mengurus pekerjaan di rumah, seperti: memasak, menyusui, merias diri. Mereka juga dianggap kurang solutif dalam menyelesaikan permasalahan di masyarakat. Ya, karena perempuan menjadi objek yang dipermasalahkan. Ditambah seringkali kita yang tidak diajak terlibat dalam forum diskusi. Baik dari tingkat keluarga (mungkin), RT/RW, kelurahan, kecamatan dan diluar kelembagaan.
Mari kita kembali kepada poin yang diperjuangkan oleh Mbok Gunarti yaitu tentang ekologi. Lantas, apa hubungannya antara Pegunungan Kendeng dengan ekologi? Apakah itu termasuk krisis ekologi? Yuk, bahas bersama!
Krisis ing Nginggil lan ing Ngandhap
Menurut laman Departemen Geografi Lingkungan Universitas Gajah Mada, ekologi adalah satu sistem dinamik sekaligus mencermati faktor-faktor lingkungan kehidupan manusia lainnya, seperti lingkungan sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Dalam hal ini, daerah Kendeng merupakan tempat terjadinya krisis ekologi. Pegunungan Karst Kendeng ing nginggil lan ing ngandhap, berpotensi dieksploitasi karena hasil tambangnya dari alam yaitu berupa bahan baku setengah jadi berupa semen, telah masuk dalam sistem ekologi yang berhubungan dengan manusia.
Melansir dari Konde.co, aktivitas penambangan karst dan operasi pabrik semen terus berlangsung. Ancaman rusaknya sumber mata air dan lahan pertanian makin nyata. Mata air menjadi sumber penghidupan warga untuk bertani, terutama para perempuan yang membutuhkan air. Akibat aktivitas tambang, mata air berkurang dan tercemar, serta terjadi banjir, tanah longsor, penyakit yang berkaitan dengan zat berbahaya tambang.
Terutama anak-anak seumuran bayi, mereka membutuhkan air bersih yang lebih higienis. Sehingga peran perempuan dan laki-laki wajib untuk memeroleh akses bagi anak-anak mereka. Ekologi tentu menjadi komponen pembentuk kehidupan manusia bahkan sebagai penopang utamanya. Perempuan yang sedari tadi kita bahas belumlah luas dan mendalam. Belum sepenuhnya memasuki lingkup gender. Gender berkaitan dengan peran. Lantas, apa itu gender?
Apa itu Gender?
Mengutip dari Yayasan Kesehatan perempuan, gender adalah pembedaan status, peran dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan nilai budaya yang berlaku.
Ironinya, pembagian peran antara perempuan dan laki-laki di masyarakat menjadi suatu hal yang wajib dipatuhi. Seperti contoh yang telah disebutkan tadi yaitu peran perempuan: memasak, menyusui, merias diri, telah menjadikan perempuan tak memiliki kebebasan melakukan di luar ketiga hal itu.
Nah, dasar pemikiran yang menggambarkan kebebasan dari penindasan yang dirasakan oleh kaum perempuan yang termarginalkan disebut feminisme. Dalam hal ini, penindasan yang dimaksud adalah stigma masyarakat yang membelenggu dan mengotak-kotakkan tugas. Semakin berkembangnya zaman, tak hanya perempuan yang mengalami ketidakbebasan itu, tapi juga kaum laki-laki dan gender lain.
Setelah kita membahas secara umum tentang ekologi dan feminisme muncullah suatu paham ekofeminisme.
Menurut tafsiran saya, ekofeminisme adalah suatu ide yang dieksekusi sebagai perjuangan manusia yang membebaskan dirinya untuk menjaga ekosistem alam karena berkaitan dengan kehidupannya.
Marcus Aurelius: "Kepada alam, yang memberi dan mengambil kembali segalanya"
Maka, kembali pada kasus kerusakan ekologi di Pegunungan Kendeng, bahwa sejatinya manusia yang merasa tertindas oleh aktivitas pertambangan yang menganggu hubungan harmoninnya dengan alam, berhak untuk bersuara lantang membela alam yang telah menjadi bagian hidupnya.
Kebebasan untuk menjaga alam ini tidak terbatas pada perempuan yang tengah terbelenggu, tapi juga kaum laki-laki dan gender lain. Sehingga, manusia diharapkan senasib sepenanggungan dalam berjuang membela lingkungan yang telah dirusak oleh kaum pemodal yang tak tahu diri mengeruk alam.***
Sumber:
[Yang tercantum dalam tulisan].
Lagu mengiringi bacaanmu ini: Lelo Ledung
~ Terima kasih ~
Komentar
Posting Komentar