Jumat: Seutas Tali Vignet Pekan Ini

 


Menjalani asa setelah berhari-hari bergumul dengan list keseharianku. Melompat sana-sini dari satu tempat ke tempat lain. Satu kota ke kota lain. 

Mungkin terlihat lelah. Tapi itu yang aku butuhkan dalam hidup. Daya pantik energi yang adalah bersastra dan bersuara menuntut keadilan lingkungan, aku jalani hanya dalam rentang waktu kurang dari 24 jam. 

Rasanya seperti terjebak dalam jarum detik jam yang bergerak mengikuti arah mata angin. Tapi bedanya, aku mengikuti intuisiku secara penuh. Menelusuri Jakarta dan menyusuri Semarang. Banyak manusia dan alam yang kujumpai, membuatku tersenyum dalam menyenandungkan makna bersyukur pada Tuhan dan semesta. 

Di pinggir jendela menatap hamparan kebun berbatasan dengan garis pantai. Melamun di kereta sambil duduk di kursi ekonomi, tempat orang berlalu-lalang kedinginan dan berpeluh ketidaknyamanan. 

Walau yang kukonsumsi produk untuk kelas rakyat bawah, tapi aku bermimpi tak ingin ada peletakan petaka seperti itu. Kita semua sama-sama bernafas, mengapa ada pembeda seperti itu? Supaya ada kenyamanan? Dan penjaminan sesuai isi kantong?

Biarlah manusia yang mengatur semuanya. "Tugas kita hanya berusaha memerjuangkan apa yang kita yakini benar." 

Kini aku melihat diriku yang tersisa bersama pagi di hampir penghujung pekan. 

Hari terasa cepat jika kita menikmati sensasi dari perjuangan yang berlandaskan wajah manusia dan alam, "para penunggu keadilan" datang. Memeluk mereka yang kedinginan pada kejamnya rumah serasa gubuk pengasingan di negeri sendiri.

Semarang, 8 November 2024

Menuju akhir tahun

~ Di cermin terlihat lesung pipi

Tapi nyatanya, hanyalah wajah lelah ~

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nafas Pundenrejo dalam Perjuangan

Menembang "Lelo Ledung" Bagi Sedulur Sikep dan Wiji Kendeng

Dilema Kepemilikan Tanah: Pemikiran Amatir Pencari Keadilan