FYP, Anxiety, and Mental Health

 


Sebagai warga +62, mendapatkan informasi tentang kritik terhadap pemerintah menjadi hal yang tidak asing. Mulai dari postingan berisikan berbagai data yang menunjukkan penurunan grafik kualitas udara, anggaran pendidikan yang dipangkas, kebijakan gas elpiji yang mengakibatkan kelangkaan, candaan satir kritik kebijakan, dan postingan berskala serius lainnya.

Hal itu hanya memantik anxiety dari diriku. Belum lagi aku membacanya saat dalam kondisi macet di jalanan menuju kampus, sekolah atau tempat kerja.

Ajang saling beradu argumen, menjelekkan pihak lain, bercanda satir, yang ada di kolom komentar guna ditujukan untuk pemerintah maupun pihak lain, seringkali mendistraksi pikiranku saat scrolling sosial media. 

Tak hanya saat scrolling, tapi juga saat kita belajar lebih dalam tentang kebijakan itu, seakan‐akan bertanya, “Kapan Indonesia bisa damai?”.

Ruang digital itu bisa saja disebut demokrasi dan baik untuk kemajuan dan perbaikan pemerintah. Tapi, seringkali kebijakannya jauh dari apa yang terjadi di sekitarku. Aku makan, pergi ke kampus, tidur seperti biasa.

Kenapa pikiranku ikut berisik hanya karena postingan yang berbau keburukan pemerintah dan terus‐menerus lewat fyp instagram‐ku?

Ingin sekali rasanya aku tak peduli soal itu. Tapi, setiap malam aku selalu berpikir sampai kapan cercaan netizen dan buzzer hilang, seiring pemerintah kinerjanya makin jujur dan kompeten sehingga tak ada lagi kritik berbau ujaran kebencian seperti neraka di gawai?

Kini aku menyingkirkan gawai, dan hanya membaca buku sastra atau filosofi hidup yang menenangkan. Aku ingin berpesan, “Jangan mengatakan generasi muda sekarang sedikit‐sedikit mental health. Itu semua karena aku, kamu, dan kita sendiri yang menciptakan atmosfer khawatir berlebihan ini. Izinkan aku tertidur dan menonaktifkan akun media sosialku.”




play this, bro

negara lucu - eńau 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nafas Pundenrejo dalam Perjuangan

Menembang "Lelo Ledung" Bagi Sedulur Sikep dan Wiji Kendeng

Dilema Kepemilikan Tanah: Pemikiran Amatir Pencari Keadilan