Akan Kujalani
Hujan dan keringat yang bertetes bersamaan, sampai
tidak tahu perbedaan antara semangat, berteduh, dan rasa lelah.
Ini kisahku, seorang anak yang suka main keluar
mencari kegiatan yang menyenangkan dalam menjalaninya. Bukan sulap, bukan sihir,
ini bukan cerita apa – apa tapi
aku harap dapat mengisi waktu kosongmu. Selamat membaca kawan jiwa muda!
(asekk)
Jam menunjukkan pukul yang tidak aku ketahui, karena
jam rumahku rusak (hiks.. hiks..). Aku
bangun dengan semangat ingin bertualang ke negeri keseribu. Setelah melakukan
rutinitas, ternyata jam digital dari gawai menunjukkan pukul 8.16 WIB. Padahal
acara mulai pukul 8.30 WIB. Disitu aku mulai pasrah untuk tidak perlu berangkat
karena sudah pasti telat.
Lalu, orang tua menyuruhku untuk tetap berangkat
dan dipesani ojek online (yeayy). Akhirnya aku berangkat dan sampai di lokasi
acara belum dimulai. Nah, teman – teman
pasti bertanya – tanya acara
apa yang aku maksud ya? Oke deh, aku beri tahu ya! Acaranya yaitu pertunjukan
seni dari mahasiswa Universitas Negeri Jakarta angkatan 2023 Prodi Pendidikan
Bahasa Prancis, mata kuliah estetika Bahasa
Prancis. Oke, kita lanjut ya story tellingnya!
Nah, acara dimulai sekitar pukul 9.00 WIB.
Pertunjukan seni sangatlah menarik dan kreatif, lho! Mulai dari tari tradisional
Indonesia, tari dansa khas Prancis, band grup, pembacaan puisi, talkshow cerpen
bahasa Prancis, dwilingual teater dan tari modern. Setelah menikmati pertunjukkan,
kami beranjak pergi meninggalkan auditorium.
Nah, disini aku bingung banget, “Mau pulang atau
cari tempat lain ya?”. Setelah aku pikir – pikir, karena aku tinggal sebentar lagi di Jakarta maka aku
harus mengeksplor kota metropolitan ini (hehehe…). Ya, walau aku dua kali salah
naik bus, karena bingung sudah lama tidak naik transjakarta dan rute yang
terlewat, singkat cerita, selama dua
setengah jam, aku sampai di Goethe Institut atau pusat budaya Bahasa Jerman di
daerah Gondangdia. Aku membaca 2 buku, karena itu bahasa Jerman yaa, jadi aku
lihat gambar dan bahasa Inggris yang aku mengerti saja (hehehe…).
Setelah satu jam membaca (ya walaupun agak bingung
juga ya perjalanan tidak sebanding dengan waktu kunjungan, but it’s okay deh),
aku berangkat lagi untuk mengikuti acara kamisan. Kamisan adalah waktu di hari
Kamis (dilansir dari Pikiranrakyat.com bahwa hari tersebut merupakan hari di
saat peserta rapat bisa meluangkan waktu), dimana mereka yang menolak lupa
kasus pelanggaran HAM tahun 98 maupun tahun sebelum dan sesudahnya, untuk
berkumpul di depan Istana Presiden. Kami semua melakukan aksi damai dan
menuntut keadilan dari pemerintah dalam kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang
tidak diungkap “siapa?” pelakunya.
Walaupun hujan deras di depan Monas sekaligus depan
Istana Presiden, tapi itu tidak menghalangi semangat teman kamisan dalam
menyuarakan keadilan HAM. Aksi Kamisan yang dihadiri mahasiswa, pekerja,
relawan dari berbagai usia termasuk Ibu Sumarsih yang nama anaknya yaitu biasa
dipanggil Wawan sebagai korban tragedi 98, datang sambil membawa payung. Ibu
Sumarsih setia mendampingi aksi dari aksi pertama hingga ke – 800. Kami semua berpakaian
gelap, dan membentuk lingkaran yang seakan membendung kekuatan hujan. Aksi itu
selesai pukul setengah 6 sore dan kami semua diajak untuk mengikuti pembacaan
pledoi Fatia dan Haris di M Bloc Space. Buat kalian yang belum tahu siapa itu
Fatia dan Haris, bisa baca di blogku tentang mereka ya! (Berikut: Artikel tentang Fatia dan Haris).
Disana ada banyak publik figur dan pegiat seni yang
membacakan pembelaan, dibuat oleh Fatia dan Haris. Sedikit penjelasan,
Fatia dan Haris didakwa melakukan pencemaran nama baik kepada Luhut Binsar
terkait kepemilikan saham Luhut sebagai Menko Investasi dan Maritim dalam tambang emas di Papua. Fatia dan Haris
dalam podcastnya berbincang terkait pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di lingkup tambang emas Papua tersebut, berdasarkan data yang mereka teliti sejak lama
bersama masyarakat Papua dan daerah lainnya, peneliti dan lembaga non – pemerintah.
Dalam pledoi itu hadir pula Riri Riza sebagai
produser ternama di tanah air, Nessie Judge sebagai youtuber, Abdurrahim Arsyad
sebagai komedian, Bivitri Susanti sebagai pakar hukum tata negara, dan masih
banyak tokoh terkemuka di Indonesia.
Dalam pembacaan pledoi atau pembelaan milik Fatia,
ada bagian yang menceritakan tentang berpulangnya sosok ibu dari Fatia. Lantas, Fatia
menangis karena ia tak sempat merawat ibunya yang sakit lantaran Fatia harus
mengikuti sidang dirinya bersama Haris.
Singkat cerita, walau pledoi dibaca tanpa berhenti selama dua setengah jam, tepat pada pukul sebelas malam, acarapun selesai. Aku sedari tadi duduk bersebelahan bersama ka Inai, ia salah satu mahasiswi Universitas Diponegoro yang aku temui di Kamisan beranjak pulang.
Mata sudah terkantuk, aku tetap ingin berfoto bersama Fatia dan Haris. Haris berkata kepada Fatia, “Ini dia pernah ikut pelatihan kan?”, tangannya sambil menunjukku.
Lalu Fatia membalas, “Pelatihan apa? Enggak, bukan pelatihan tapi Festival Keadilan yang di Semarang.”
Hehehe, jadi aku bahan argumen mereka deh. Aku akhirnya menengahi mereka, “Bukan,
aku datang ke acara Festival Keadilan yang di Semarang dan Yogyakarta.” Sontak,
Haris pun mengangguk, hehehe.
Tak lupa, aku dan ka Inai juga berfoto dengan Nessie Judge,
senang banget!
Di tengah gelapnya kota metropolitan, aku pulang dan ketiduran di busway pukul
setengah dua belas malam :)
Komentar
Posting Komentar