Nafas Dua Puluh
Halo, kenalin aku manusia yang pernah kalian kenal (entah sekejap atau sudah lama). Ya, kalian biasa
kenal aku dengan sapaan: wina. Sudah lama tak berjumpa dengan tulisan ringan. Kita
anggap saja ini ringan ya untuk awalan. Jadi, dalam menulis ini aku ada
pantangan. Hanya satu yaitu: “Menulis tanpa menghapus kata untuk mengubah
konteks.” Misalnya, aku ingin menulis: “Aku lapar” tapi aku ganti “Aku senang”,
nah itu ditentang oleh ketentuan yang aku tulis sendiri. Oke, kita mulai ya,
hehe.
Satu tahun ini, aku mengalami banyak hal baru dalam hidup. Selama
setahun sebelumnya (2024), full-year
menjadi anak rantau. Kini aku tertantang untuk melanjutkan hidup kembali di
tahun 2025, dengan kiat-kiat yang sudah diberi clue pada tahun-tahun sebelumnya. Hmm, baik kita mulai bahas di bulan pertama. Let’s goww!
Januari. Hmm, banyak sekali hal menantang yang
aku hadapi bersama teman-teman. Aku mengikuti mahasiswa pecinta alam. Menjadi hal
yang menakutkan sekaligus aku tak mau “takut pada rasa takut itu sendiri”. Maka,
mencobalah aku untuk mengikuti rangkaian kegiatan di mapala itu. Selama lima
hari kami tinggal di sekitar lereng Gunung Ungaran. Walaupun aku mengalami hypothermia karena gak sempat ganti celana
yang basah, tapi di sana letak persaudaraannya. Teman-teman mapala ku langsung mempraktikkan
materi survival (wkwk). Ya, mereka menyelimutiku
dengan emergency blanket. Aku lemah emang, hahaha.
Gak sampai di
sana. Ternyata aku lebih senang untuk berjalan. Dimanapun, di tempat curam,
licin, terjal, terutama landai, hehehe.
Awalnya aku ragu karena perempuan seorang yang mengikuti pendidikan dasar
mapala. Namun, rencana Tuhan lebih indah, hahaha.
Aku dikuatkan sampai akhir longmarch
dari sekitar Ungaran hingga kampus. Suatu hal yang gila dan ajaib, menyatu!
Oke, singkatnya Januariku
terisi oleh kegiatan petualangan itu. Kita lanjut ya. Masih siap, kan?
Februari. Belum ada yang berarti untukku ingat. Satu hal
yang aku ingat yaitu kelasku direshuffle
dengan kelas lain. Aku sedih karena harus meninggalkan teman-teman kelas pertamaku
sejak kuliah. Namun, bukankah hidup,
kalau tidak ada kejutan? Ya, mau tidak mau, kita harus menerima itu.
Maret. Aku tak
ingat jelas kala itu. Izinkan aku melaluinya ya.
April. Aduh, sama lagi. Oh iya, ini kalau benar
di akhir itu adalah hari lebaran, aku ada cerita. Setelah aku cukup rajin untuk
joging di kontur tanah yang
naik-turun menuju sungai Gubug Serut, aku diberi kesempatan indah sekaligus
menantang.
Di akhir bulan itu, aku diajak teman mapala untuk jalan dari
Semarang ke Yogyakarta. Anak yang suka tertantang karena hal baru ini,
tertarik. Sebab, seringkali aku jalan sendiri sambil terengah-engah hanya untuk
healing menuju sungai yang telah
kusebutkan di atas. Banyak hal yang telah terjadi. Mulai dari ngos-ngosan di antara hutan daerah
Ambarawa, gagalnya ekspedisi karena ada bantuan mobil, hehe.
Maaf ya, tapi kami sangat bersyukur, hehe. Dari pukul 10 pagi kami berangkat, dibantu mobil setengah
jam. Akhirnya kami tiba di Magelang pukul 18.00 WIB. Kami sangat ingat, hari
itu adalah buka puasa terakhir di Bulan Ramadhan. Hingga kami mendengar suara
takbiran di satu desa daerah Mungkid tersebut.
Keesokannya, kami melanjutkan untuk menuju ke Yogyakarta. Dari
pagi, singkat perjalanan kami tiba pukul 16.30 WIB di perbatasan antara
Magelang dengan Yogyakarta yaitu Salam. Dalam hatiku, “Wih, sudah diberi salam saja nih pasca ekspedisi, ehehe.”
Ya, kita lalui kisah di Bulan April ini ya. Pokoknya petualangan
alamku mendominasi sekitar awal tahun ini, deh. Sebelum, hal duniawi mengajakku
untuk melupakan keindahan alam.
Mei. Pada bulan
ini, ada saja puncaknya. Satu Mei, hari buruh. Aku tak mengikuti aksi karena
ada kegiatan reflektif kala itu. Namun, tampaknya semesta ingin aku membayar
akan hal tersebut. Banyak kawan kami yang ditangkap. Hingga tersisa lima orang
yang “terseret” hingga persidangan. Sebuah perjalanan baru bagi kami. Mengikuti
diskusi dan mendengar cerita setiap malam yang berkaitan dengan aksi tersebut. Menulis,
wawancara, menyusun strategi, dan banyak hal lainnya seakan mengatakan “Terima
kasih sudah sempatkan untuk tidur!”
Hingga pada bulan selanjutnya, Juni. Aku ingat sekali, aku pasang story whatsapp. Captionnya, “Ra
bebas, ra turu.” Ya artinya, kalau kawan-kawan belum bebas dari tahanan, aku
belum tertidur pulas. Kala itu, jam tidurku juga seadanya. Hanya untuk
berdiskusi bersama kawan-kawan yang bersolidaritas.
Tepat keesokannya, aku terkejut. Tuhan menjawab doaku. Mereka
keluar tahanan. Walaupun menjadi tahanan kota. Setidaknya, mereka sudah bisa
menghirup udara bebas.
Pada bulan itu, aku juga mengikuti kemah jurnalistik. Di sana
aku mendapat ilmu dan kawan solidaritas yang baru, hehe.
Juli. Tak banyak
hal, hanya bersyukur usiaku kini menapak di angka 20. Aku percaya, ini
sebanding dengan beratnya tantangan di hidupku, hehehe. Ada tugas baru. Aku di-challenge
untuk membuat sabun dari lerak dan mempresentasikannya pada acara Temu Gusdurian Nasional. Awalnya aku
ragu, karena waktu persiapanku yang belum matang. Sebab, untuk membuat sabun
ramah lingkungan itu membutuhkan proses yang lama dan ketekunan. Tapi, aku saja
jarang di kos, hehehe.
Namun, aku percaya. Kesempatan tidak datang dua kali. Jadi,
aku buat sabun itu. Lalu, di hari ulang tahunku, aku membagikan sabun lerak ke
daerah di sekitar rumahku. Kami sangat bersyukur.
Agustus. Banyak hal
terjadi. Mulai dari mengikuti aksi di Pati, menemani warga Jepara di Sumberrejo
untuk menolak tambang andesit, menemani warga negara asing menyusuri daerah rob
di Semarang, upacara 17-an di daerah Timbulsloko, hingga tiba mendatangi Jakarta
untuk mempresentasikan sabun lerak yang sebelumnya telah aku buat bersama ka
Fina.
Puji Tuhan, produkku lulus untuk dipresentasikan di acara
nasional itu. Kami dibiayai secara gratis ke Jakarta. Aku senang sekali karena
berkat bimbingan Mba Rifa, satu-satunya produk dari sekolah Jagat (Jaga Alam Kita oleh Gusdurian) di Yogyakarta adalah produk sabun lerakku seorang. Dukungan teman-teman
dari berbagai daerah juga mengalir.
Kini tiba saatnya pulang. Aksi besar, rata-rata terjadi di beberapa
daerah seluruh Indonesia. Diawali dengan video
joget-joget oleh DPR yang ternyata sedang menikmati musik daerah, namun dinarasikan
bahwa itu tentang kenaikan upah anggota DPR. Dari misinformasi tersebut,
ramailah di media sosial hingga berujung pada ajakan aksi unjuk rasa.
Pada Kamis, 28 Agustus, seorang pengemudi ojek online gugur kala berlari di tengah aksi
malam itu. Di Pejompongan. (Mengheningkan cipta).
Baik. Ada dua hal yang aku ingat. Pertama, jadwal keretaku
untuk kembali ke Semarang yaitu di Stasiun Pasar Senen dialihkan ke Jatinegara.
Sebab, dekat daerah Pasar Senen yaitu Kwitang, terdapat Markas Komando Satuan
Brimob Polda Metro Jaya. Tempat mobil kendaraan taktis (rantis) yang
menyebabkan berpulangnya pengemudi ojek online
tersebut. Maka dari itu, sumber terkoyaknya aksi terutama unjuk rasa para
pengemudi ojek online terjadi di
sana.
Kedua, media sosialku sempat hectic pasca ramai kabar itu. Satu hal yang membuatku tergelincir,
aku bersama teman-teman membuat postingan yang terburu-buru. Hingga tiba momen buzz memenuhi komentar di postingan itu.
Berlanjut setelah aku berkegiatan di Jakarta, mobil polisi
padat memenuhi jalan. Bagai mengiringi langkahku pulang ke Semarang. Ditemani bapak,
aku mengobrol di stasiun. Tak sempat ke rumah, sebab banyak ruas jalan yang ditutup. Sambil was-was, aku menaiki kereta menuju ke rumah kedua kembali, kos.
Huh, lelah juga ya.
September aja yuk langsung.
September saat itu
benar-benar hitam. Mahasiswa fakultas hukum berpulang di kala hari-hari
rawan saat aksi. Kampus kami berkabung tanpa penyelesaian yang jelas. Meliput
diliputi duka menyimpan rasa getir dan sendu tersendiri bagiku.
Oktober. Mungkin,
ini saatnya untuk masa kebangkitan. Kami ke Bali untuk mengikuti Kuliah Kerja
Lapangan. Walaupun gak ada kerja-kerjanya.
Kami bersenang-senang di sana. Aku dianugerahi keberanian untuk berpuisi, lagi.
Sepulang itu, aku baru ingat bahwa ada agenda kelas hak
asasi manusia di Yogyakarta. Malamnya setiba di kos, aku langsung pesan tiket travel untuk pergi ke Yogyakarta. Lelah tapi menyenangkan.
Di Yogyakarta selama 3 hari, rasanya aku seperti diberi
cahaya kembali pasca kejadian dar-der-dor
di bulan-bulan sebelumnya.
Kembali ke Semarang, banyak hal yang menyembuhkan. Salah
satunya yaitu mengikuti konser bersama masyarakat sipil.
November. Tidak banyak,
hanya dipilih dengan kegiatan yang aku rasa wajib untuk dijalani. Ya, berkuliah
dan dibumbui dengan mengikuti kelas kebebasan berekspresi dari Kontras di
Jakarta. Oh iya, sambil mendiskusikan pengetahuan Gunarti dari Kendeng bersama
teman di beberapa daerah.
Di akhir, aku dirundung duka dan kegundahan, lagi. Kawanku ditangkap. Sebabnya, karena
dianggap memengaruhi publik untuk ikut aksi pada Agustus, lalu. Mendatangi polrestabes,
mengamati, dan berdiskusi bersama temanku di sana adalah pengalaman manis
sekaligus pilu yang bercampur jadi satu.
Desember. Jadwal ujian
menanti. Aku hanya ingin kembali pada situasi yang penuh refleksi. Aku lelah,
bercampur tangan dalam hal duniawi. Aku merasa, tanpa penyertaan Tuhan yang bimbingku
kesana-kesini, aku gak akan setenang
sekarang. Hingga tiba, ada tawaran untuk membantu berjalannya sidang
pertanggung-jawaban dari organisasi lain. Rasanya kembali menjadi mahasiswa
seutuhnya. Mengenakan jas almamater dan di kampus seharian. Terpenting,
berjumpa dengan kawan satu kepercayaan.
Ujian akhirnya usai. Tak lupa, aku menepati janji untuk
bertemu teman yang sudah lama ditunda karena aku lupa. Aku seringkali sebal jika ditanya, “Kapan pulang?”
Sebab, itu urusanku, hehe. Tapi, ya
itu rasa penasaran kalian. Baiklah, tak
apa.
Aku suka sekali melakukan sesuatu dadakan. Aku percaya, di
dunia yang semakin dinamis, hampir segala sesuatu belum tepat waktunya. Maka,
aku pesan tiket di sore hari pada pukul 15.00 WIB, dan aku pulang malam itu
juga pukul 23.50 WIB. Terburu-buru pula aku mencuci baju. Hingga sekarang,
belum ku ambil dari jemurannya, hehe.
Kini aku di rumah. Bersepeda dengan bapak, motoran dengan
adik untuk misa malam natal, dan jalan-jalan dengan mama, menyimpan pengalaman
tersendiri bagiku. Ditutup manis nan tegas dengan peliputan sidang tahanan
politik. Sidang itu dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 29. Pasca peliputannya,
aku baru bisa tulis pada tanggal 30 sekitar pukul 00.00 hingga 03.00 WIB. Padahal,
aku tak berencana untuk meliputnya, hehe…
ada-ada saja.
Setelah berkisah atas kejadian-kejadian di atas, hanya ada
satu ungkapan: “Terima kasih”
Terima kasih untuk semua yang hadir dalam hidupku. Dari aku
lahir, hingga 2025 ini. Semoga semesta bergotong-royong mendukung usaha dan doa
kita.
Jakarta, 31 Desember 2025.
wina, manusia yang pernah kamu kenal.



Komentar
Posting Komentar