Se(h/kar)at
Sebuah kebijakan yang selalu melahirkan kontroversi di publik karena berdampak bagi kesehatan anak-anak. Kebijakannya bernama “Makan Bergizi Gratis” atau biasa disebut MBG. Melansir dari laman BBC, menurut data Kementerian Kesehatan per 5 Oktober 2025, jumlah korban keracunan terkait MBG sejak awal tahun ini telah mencapai lebih dari 11.000 orang. Se(h/kar)at: "Niat ingin sehat atau malah sekarat?" Lantas, bagaimana awal mula ini terjadi?
Panggil saja Prabs. Ia menceritakan pengalamannya menggagas program MBG. Saat Prabs mengunjungi beberapa daerah di Indonesia, mayoritas anak- anaknya mengalami kekurangan gizi. Berangkat dari hal itu, ia memiliki tekad untuk membuat program makan bergizi gratis, seperti yang sudah pernah berjalan di India. Hal itu menjadi motivasi baginya.
Lalu dibuatlah Peraturan Presiden nomor 83 tahun 2024 yang mengatur tentang Badan Gizi Nasional dalam penyelenggaraan MBG.
Strategi yang diterapkan oleh pemerintah, dalam hal ini Badan Gizi Nasional untuk meyakinkan masyarakat adalah menyatakan bahwa bahan baku berasal dari petani, peternak, dan nelayan terdekat. Kebijakan yang diinisiasi oleh Prabowo secara langsung ini, menghasilkan Peraturan Presiden nomor 83 tahun 2024 yang menuliskan bahwa diperlukan penyelenggaraan pemenuhan gizi bagi masyarakat.
Kebijakan pemerintah ini terdengar ambisius di telinga masyarakat. Hal ini yang membuat mereka menyambut awal peluncuran MBG. Dapat dilihat dari siaran media yang menyoroti persiapan hingga konsumsi langsung MBG di sekolah-sekolah.
Dalam menjalankannya hingga sekarang, banyak proses yang telah dilalui. Mulai dari produksi, pengemasan, distribusi, hingga konsumsi. Berdasarkan laman dari Badan Gizi Nasional, bahan yang diproduksi untuk MBG berasal dari hasil pangan terdekat wilayah pemberian MBG. Baik itu dari petani, nelayan, dan peternak setempat.
Menteri Koperasi saat ini, Budi Arie mengatakan bahwa dalam proses produksi MBG juga menggerakan koperasi sekitarnya, sehingga hal ini wujud dari ekonomi sirkular. Lalu, jika bahan baku MBG berasal dari warga sekitar, mengapa masih terjadi angka 11.000 pelajar yang keracunan?
1. Faktor Produksi
Salah satu cerita dari seorang chef yang bekerja untuk MBG menjelaskan proses dan tantangan selama produksi MBG. Mereka bekerja dari jam 12 malam untuk menyiapkan makanan yang sudah harus siap di pagi hingga yang paling siang yaitu pukul 12. Jumlah porsi makanan untuk banyak siswa bahkan untuk sekolah yang berbeda, membuat chef, kepala mitra, dan pegawai baru bisa menyelesaikan produksi di jam 12.30 siang. Pegawai yang didominasi oleh ibu rumah tangga, hanya bekerja sesuai waktu yang telah ditentukan yaitu selama 8 jam. Hal ini membuat chef dan kepala mitra harus menyelesaikan produksi makanan berporsi-porsi yang belum selesai selama 8 jam itu.
Dikarenakan produksi yang sedari pukul 12 malam tadi, membuat beberapa makanan sudah siap santap di pukul 4 pagi. Porsi makanan ini untuk shift pagi yaitu bagi pelajar PAUD dan SD. Makanan yang baru dimakan setelah jam 6 pagi, terutama sayur, tidak akan layak jika baru dimakan setelah lebih dari 6 jam seusai proses produksi.
Hal inilah yang menyebabkan timbulnya bakteri Salmonella, E.coli, Bacilius cereus, Stapylococcus aereus, Bacillus subtilis, hingga jamur Candida tropicalis yang terkandung dalam makanan. Sehingga, tak sedikit yang mengalami diare dan mual bagi pelajar yang mengonsumsi MBG.
2. Faktor Distribusi
Jumlah porsi yang banyak mendorong pula percepatan distribusi sesuai tenggat penyajian. Hal ini menghasilkan ketidakhigienisan dalam mencuci dan menyediakan tempat makan. Tak dapat dipungkiri bahwa kebersihan tempat makan juga memengaruhi konsumen MBG. Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan, mengatakan bahwa mesin pendingin kurang optimal, sehingga membuat makanan tak bertahan lama saat hendak didistribusikan.
3. Faktor Pegawai
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana, mengatakan bahwa yang menjadi pegawai dalam membantu proses produksi MBG mayoritas adalah masyarakat. Walaupun dikerjakan bersama-sama untuk MBG, kebiasaan setiap individu di masyarakat yaitu memasak dalam skala kecil untuk keluarga. Sehingga, manajemen memasak untuk skala besar masih menjadi tantangan bagi mereka.
Hal ini perlu diselaraskan oleh Badan Gizi Nasional dan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi untuk memberikan pelatihan keamanan makanan dalam proses produksi untuk para produsen MBG. Pengawasan, monitoring, standarisasi fasilitas produksi MBG dan uji kelayakanan makanan yang diproduksi secara massal juga perlu untuk dilakukan oleh Badan Gizi Nasional, pemerintah terkait, dan mitra untuk mengurangi angka keracunan dari MBG ini.
Dalam suatu program, dapat dipastikan ada keberhasilan dan kegagalan. Keberhasilan yang diperoleh yaitu menyadarkan masyarakat pentingnya makanan bergizi. Sehingga, mereka dapat memenuhi kebutuhannya sendiri bilamana mencukupkan.
Namun jika tidak mencukupkan, mau tidak mau ia harus menggantungkan satu kali makannya setiap hari pada program MBG ini. Angka 11.000 usia pelajar per 5 Oktober 2025 bukan angka yang kecil.
Kegagalan yang bisa dikatakan kesalahan secara teknis nyatanya merugikan pelajar hingga harus mengalami kesakitan akibat proses produksi yang tidak higienis, distribusi yang memakan waktu, hingga pengawasan yang sekadar formalitas.
Pemerintah bukan hanya mendengarkan keluhan, tapi perlu mengurangi angka penyebab keluhan tersebut. Seperti yang disampaikan sendiri oleh Badan Gizi Nasional, pemantauan, pengawasan, koordinasi, dan pemilihan mitra perlu tetap menjadi sumbu dari program MBG ini.
Inovasi yang dicanangkan oleh Badan Gizi Nasional yaitu dashboard monitoring yang dapat memberikan gambaran kondisi pengajuan dan progress pembangunan mitra. Hal ini perlu untuk direalisasikan untuk mendukung kinerja dan efektifitas proses produksi hingga konsumsi MBG sehingga dapat mengurangi angka keracunan.
Kemampuan adaptasi dari lembaga dalam menyelesaikan masalah yang ada perlu untuk dioptimalkan sehingga masalah dapat berkurang dan program MBG bisa terus diupayakan untuk ambisi pemerintah.
Lebih dari semua ini, pemenuhan gizi bagi ibu hamil adalah sasaran yang tepat dan strategis. Sehingga, dalam menciptakan solusi tidak hanya bermanfaat, tapi tepat sasaran. Namun apadaya jika telah terjadi dugaan korupsi dalam bentuk mengurangi kandungan nutrisi biskuit bagi bayi dan ibu hamil, lalu digantikan dengan memperbanyak kandungan gula dan tepungnya?
Daftar Pustaka
Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2024
CISDI. (2025, April 17). Evaluasi Tiga Bulan MBG, Menu Tak Sehat dan Tata Kelola Masih Perlu Dikaji Ulang. cisdi.org. CISDI diakses pada 23 Oktober 2025
Gusti.Grehenson. (2025, October 6). Keracunan Massal MBG, PKT UGM Sebut Skala Produksi SPPG Melebihi Kapasitas dan Minimnya Pengawasan. Universitas Gadjah Mada. UGM diakses pada 23 Oktober 2025
BBC News Indonesia. (2025, October 21). MBG: Ribuan kasus keracunan, sejumlah sekolah kelola dapur mandiri. BBC diakses pada 23 Oktober 2025
Nadira, F. (2025, August 12). KPK Selidiki Dugaan Korupsi Pengadaan Biskuit Balita dan Ibu Hamil. CNBC Indonesia. CNBC diakses pada 23 Oktober 2025


Komentar
Posting Komentar