Tiga Puluh Persen: Hak yang Dikalkulasi, Tidak Tercapai Pula


 


Budaya yang masih tergolong patriarki menjadi hambatan perempuan dalam berkarya termasuk pada konteks ini yaitu berpartisipasi dalam peran legislatif. Patriarki yaitu paham yang menekankan laki-laki lebih tahan dari tantangan kehidupan yang ada, sementara perempuan yang tergolong menerima saja dan melayani kebutuhan emosional orang di sekitarnya. Pembagian peran setelah menikah yang cenderung mengikuti budaya masyarakat pada umumnya, dengan dalih agar peran di rumah tangga terbagi dengan jelas, tanpa mengganggu kehidupan di luar rumah tangga, menjadi persoalan yang belum disadari oleh masyarakat luas bahwa hal itu dapat berdampak di berbagai sendi kehidupan. Lantas, apa saja dampaknya? 

Mari kita menguraikan ini dari penyebab, contoh kasus, hingga dampak dari budaya patriarki ini tehadap keterwakilan perempuan yang masih kurang dari angka minimal 30% di kursi parlemen ini 

Penyebab dari kurangnya keterwakilan perempuan di kursi parlemen dimulai dari ranah rumah tangga, budaya, hingga sistem perlu untuk diteliti lebih dalam. Berikut penyebab-penyebabnya: 

1. Peran domestik perempuan 

Menjadi hal yang tidak asing bagi kita bahwa tugas ibu di rumah rata-rata membersihkan rumah, mengurus keluarga, dan melayani kebutuhan emosional siapapun yang bersinggungan dengannya. Selayaknya kata pepatah, sedikit-sedikit lama-lama jadi bukit, paham bahwa perempuan cukup di rumah saja, meluas hingga belum bisa kompeten di luar rumah. Peran perempuan yang seakan-akan diberi kotak hanya di rumah saja, memberikan paham kepada masyarakat bahwa perempuan kurang kompeten dalam berkompetisi di luar dari rumah.  

Bagaimana ingin berkontestasi di ranah politik, jika kebebasan untuk bersosialisasi di luar rumah saja direnggut, dan melebar ke ranah politik, memengaruhi sistem dan kebijakan hingga sekarang. Sedikit membahas dampak bahwa salah satu kebijakannya yaitu pembahasan secara tiba-tiba tanpa melibatkan masyarakat tentang RUU TNI & Polri yangmana kedua instansi itu memengaruhi psikologi perempuan dari pemikiran, perkataan, hingga tindakannya.  
 

2. Sistem pencalonan legislatif yang maskulin 

Dalam berkontestasi politik, modal keberanian saja tidak cukup. Uang, relasi, strategi, materi lainnya juga diperlukan (Lestari, 2020). Perempuan yang dianggap terlalu lelah jika mengurus pekerjaannya secara maksimal, terlebih dalam berkontestasi di dunia perpolitikan, membatasi perempuan yang memiliki mimpi untuk menyuarakan keterwakilan perempuan di kursi legislatif.  

Politik uang dalam artianSiapa yang memberikan uang  paling banyak atau posisi paling berpengaruh, dia-lah yang diunggulkan oleh partai”, membuattak-tik” yang seakan-akan licik tersebut, membunuh perlahan psikologi perempuan yang cenderung tidak ingin mengambil risiko karena latar belakang perempuan yang dalam budaya patriarki harusmenurut” dan sosok yang perlu dilindungi.  

Terlepas dari permainan politik tersebut, para perempuan yang telah mumpuni untuk duduk di kursi legislatif saja, masih terjerembap dalam opsidipilih atau tidak?” dan kuat mental ke depannya atau tidak. Bukannya menyepelekan, tapi stigma masyarakat pada kenyataannya seperti itu.  

3. Pendidikan politik bagi perempuan 

Keterlibatan perempuan di parlemen menurut Badan Pusat Statistik pada 2024 (BPS, 2024) menyampaikan bahwa kalkulasi tersebut menyentuh angka 22,46%. Hal ini masih belum mencapai 30%. Tentunya, jumlah 30% ini bukan tujuan akhir (Amirullah, 2015). Perlu juga mereka yang telah duduk dalam kursi parlemen, terutama perempuan untuk lebih menyuarakan hak-hak yang perlu didapatkan oleh perempuan maupun kelompok rentan lainnya. Lantas, bagaimana supaya mereka bisa mengetahui lebih dalam substansi yang dibutuhkan untuk tersuarakan di gedung parlemen?  

Caranya adalah dengan peningkatan kapasitas politik bagi perempuan dari ranah usia remaja dan dari berbagai bidang. Program-program politik bagi perempuan yang cenderung formalitas dan tidak menyentuh akar masalah ataupun pihak “grassroots” menjadikan pendidikan politik bagi perempuan tidak totalitas. Sistem yang maskulin karena kompetitor cenderung melindungi kekuasaannya sendiri, bukan hak-hak dari yang terpinggirkan, membuatnya tidak ingin perempuan berisikmenyuarakan hak-nyaHal ini menghasilkan output bahwa pendidikan politik yang telah terjalankan saat ini kurang efektif karena realita yang telah disebutkan sebelumnya. Salah satu hal yang bisa diperlukan adalah kelompok masyarakat sendiri membentuk kelas pendidikan politik bagi siapapun, yang berpihak kepada perempuan (terutama perempuan itu sendiri), sehingga basis kurikulum pada pengalaman perempuan, bukan yang menggolirifikasi pemerintah.  

4. Kondisi perekonomian 

Perempuan yang seringkali ditempatkan di rumah, mendorong mereka untuk fokus di rumah, sehingga belum menghasilkan pendapatan sendiri. Hal ini berawal dari budaya masyarakat yang terstigma bahwa perempuan tepat untuk di rumah. Sehingga, para pengusa yang maskulin tak ingin ada pembagian uang yang banyak kepada pihak-pihak yang turut bekerja. Bagaimana bisa mencalonkan diri, jika dalam perekonomiannya saja masih dipenjarakan oleh sistem. 



Contoh Kasus 

Data dari Badan Pusat Statistik pada 2024 (BPS, 2024), menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan di Aceh Utara dalam kursi parlemen 0,00%. Padahal dalam satu daerah pasti ada sosok perempuan. Lantas, mengapa hal ini bisa terjadi?  

Mengutip dari BBC, "Kalau kita lihat pada konteks dan pada kenyataannya, ketika [formalisasi syariat Islam] dipakai untuk kebutuhan politik dan kebutuhan tertentu, selalu yang diserang kita, perempuan." Zikrayanti, seniman perempuan dari Aceh tersebut menyatakan bahwa politik masih dianggap bukan ranah perempuan yang cenderung mengurus rumah. Hal ini yang menyebabkan keterwakilan perempuan Aceh Utara khususnya, tak ada di kursi parlemen.  

Lalu, perempuan masih mau begini terus, jika tak ada atau tak didorong untuk mempunyai keberanian menduduki kursi parlemen? Sementara sistem yang menindas perempuan, tidak segera dibuat dan diimplementasikan? 

Lantas, bagaimana solusinya? 

Ini semua dimulai dari kesadaran. Sebuah pemikiran yang sederhana bahwa perempuan berhak memiliki peran yang sama untuk menyuarakan keresahannya di kursi kebijakan. Lalu, mereka yang mempunyai kesadaran itu, perlu untuk berjejaring dan perlahan menyatukan diri bergerak bersama membentuk satu suara yang daulat untuk mendorong peran perempuan di ranah kebijakan. Sehingga, keberpihakan perempuan kepada perempuan nyata di masyarakat.  

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 

 

Sumber: 

 

Amirullah. (2015). PENDIDIKAN POLITIK PEREMPUAN. Visipena7(1), 104-127. https://doi.org/10.46244/visipena.v7i1.299 

Lestari, P. (2020). Perempuan dalam Pusaran Politik. Semarang: Penerbit Cipta Prima Nusantara.  

Akun Youtube Channel @womantak_com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menembang "Lelo Ledung" Bagi Sedulur Sikep dan Wiji Kendeng

Nafas Pundenrejo dalam Perjuangan

Sosok yang Tak Kusadari dalam Diskusi Bersamanya