Cerita Saja, Tak Apa jika Bosan


Malam yang riuh dari dinding kereta. Ia coba mencumbu tubuhku yang penuh waspada akan hari di depan. 

Ini aku, panggil saja semaumu. Karena aku sejujurnya bukan siapa-siapa. Seringkali ego melanda, membutakan mata, menyingkirkan yang seharusnya di depan. 

Aku seringkali terekam oleh luapan ambisiku. Entah mulai darimana, ya?

Baiklah, aku akan memulainya dari yang paling aku ingat dalam benang tipis ingatanku. 


Bagian satu: "Ber-"

Seperti lirik sebuah lagu, "Sungguh aneh tapi nyata,.." 

Ya, dengan kesadaran diri aku baru sekarang berani menyatakannya bahwa aku telah berjalan dari Semarang ke Yogyakarta dengan berjalan kaki. 

Bersama salah satu kawanku yang saat itu kita sama gilanya dengan siput di film "turbo". Kita tetap memilih untuk bertarung walau dunia tengah berada dalam gempuran kecepatan. 

Jika kita melihat penunjuk arah secara daring, kurang lebih jaraknya dari Kabupaten Semarang yaitu Bawen hingga perbatasan Magelang dan Yogyakarta yaitu Tugu Ireng, sekitar 70 kilometer. 

Ditempuh dengan 2 kaki mungil yang meriak kesakitan, tapi siapa suruh berjalan seperti ini? 

/Menyetel musik ~lepaskan [idgitaf]~//



Bagian dua: "jal-"

Kalau ada sebuah lagu yang berlirik, "Naik-naik ke puncak gunung tinggi-tinggi sekali.."

Ingin ku ganti liriknya dengan ini, "Jalan-jalan Semarang-Jogja, gila-gila sekali..."

Iya, memang gila kawan :)

Tapi, dari sana aku menemukan banyak hal. Izinkan aku membuat daftar "kebaikan" kita ya, kawan:

1. Sepasang perempuan dan laki-laki yang memberi tumpangan mobil

Di tengah gersangnya Semarang walau kita telah melewati hutan di Ambarawa, ada sebuah mobil berwarna merah jambu menghampiri. (Maksudnya ibu-nya yang menghampiri, hehe).

Ia menawarkan kita untuk menumpangi mobilnya. Dalam situasi yang sangat baik itu masih bisa-bisanya kita berdua berkata, "Yah, misi kita gak full jalan kaki, deh!"

Memang ya, kita kurang bersyukur :)

Tapi lebih dari semua itu ada hal kedua dalam daftar ini yang sangat penting, yaitu...



2. Bersyukur

Ini sangat penting, kawan. Melihat motor , mobil, dan truk yang hilir mudik saat lebaran, membuat kita bersyukur bahwa kita pernah melintasi jalanan manapun dengan kendaraan. 

Bayangkan jika ia yang tak mempunyai kendaraan dan harus berjalan. Betapa memprihatinkannya seperti kita, hiks :)

Sebenarnya banyak hal lain yang membuatku terutama bersyukur. Salah satunya melihat pengumpul gelas plastik rongsokan berusia lanjut saat kita beristirahat. Sampai melihat indomaret atau alfamart saat kita seperti berjalan di tengah gurun sahara. 

Lanjut ya teman-teman, keburu aku lupa, hehe...

3. Pantang menyerah

Saat jam menunjukkan dengan jarumnya yang kejam, sama kejamnya saat matahari memimpin pukul 12 siang ke atas hingga pukul 4 sore. Asap mengepul serasa di atas kepala dan di depan mata. Rasa halusinasi akhirnya datang sambil mengatakan, "Kenapa ya kita sampai jalan kek gini?"

Ya lagi-lagi kita semua sambil jawab dengan tidak ada jawaban alias "gak tau".

Yap, yang kita tau hanya bagaimana kita sampai tujuan hanya dengan mengandalkan otot kaki yang semakin tidak karuan kondisinya. 

Sudah ya daftar kebaikan yang aku dapat. Kita lanjut saja pada romantisasi kelelahanku, hehe.



Bagian tiga: "an"

Perjalanan Sabtu itu (2 hari sebelum lebaran) dari pukul 9 pagi hingga 17.30 petang hari menemui titik jeda-nya. 

Setelah mengikuti tumpangan mobil dan melanjutkan perjalanan dari Magelang, tibalah kita di suatu masjid daerah Mungkid. Mana mungkin kita bisa sampai Mungkid? 

Di sana, kami langsung disambut oleh warga yang sangat ramah dan memberikan kami menu buka puasa terakhir mereka.

Pas sekali, karena momen-nya malam takbiran, jadi kami menyaksikan ramainya suasana salah satu desa di Magelang ini. 

Singkat cerita walau sudah panjang (alias tidak singkat), kami pun akhirnya mengistirahatkan kaki. Dikarenakan kakiku seperti rusak sekali. Entah otot atau sendi atau tulang, aku paksakan untuk tidur. 

Hari esoknya sudah terang oleh sinar matahari di kaki gunung merapi. Magelang menyapa dua musafir yang masih tertidur pulas. Tapi kita membulatkan tekad untuk bangun dan melanjutkan perjalanan. 

Jam menunjukkan pukul 9 pagi. Singkatnya kami siap-siap dan berangkat pukul 10 pagi. Sesaat kami pamit pada masjid, yang artinya tak ada siapapun di masjid. Kami melangkahkan kaki mengucapkan terima kasih pada kasur lantai masjid dan kamar mandinya. 

Kami keluar, berjalan, tiba-tiba ada yang memanggil dari belakang. 

"Mba-mba.."

Ternyata, ia adalah seorang bapak yang menyuguhkan kami makanan dan tempat kemarin malam. 

Sekepal tangan berselipkan 1 lembar 50.000 dan setoples kue semacam puteri salju berbentuk garis-garis bercetak bundar, ia berikan kepada kami sebagai bekal di perjalanan. 

"Terima kasih bapak" ucap kami. 

"Puji Tuhan, rejeki" ucapku dalam hati. 

Padahal, ya memang sudah sewajarnya melihat kita sambil mengelus dada berwatak kasihan, hehe. 

Perjalanan kita lanjutkan hingga tiba saatnya pukul 3 sore. 

Mantap. Matahari ini serasa asing karena kemarin jam segini kita sedang menumpang mobil, hehe. 


Di tengah perjalanan, kami bertemu dengan alumni pecinta alam komunitas fakultasku. Bercengkrama sambil mendengar bercandaan-nya yang bernada kesal dengan tingkah "jalan" kami berdua. 

Tiba saatnya kami harus melanjutkan perjalanan. Dengan dibekali 50.000 masing-masing orang, kami berjalan menyusuri Salam, daerah perbatasan antara Magelang dengan Yogyakarta.

Jam menunjukkan pukul 4 sore. 

Puji Tuhan, kami sampai di Tugu Ireng. Perbatasan Magelang dengan Yogyakarta. 

Lalu, kami merayakan perjalanan "gila" kami di sana dengan berswafoto dan pulang ke arah "Jogja"-nya masing-masing. 

Mungkin itu dulu ya, karena penulis capek nih lagi di kereta. 

Sepertinya butuh 50 menit untuk menulis ini. Jadi selamat melanjutkan hidup karena hidup ini kamu yang jalanin, selebihnya berbaktilah pada orang yang mem-back up hidupmu. 


"Salam akal sehat, imajinasi gila"

~spektrum malam cerita sambil renung. 



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nafas Pundenrejo dalam Perjuangan

Menembang "Lelo Ledung" Bagi Sedulur Sikep dan Wiji Kendeng

Dilema Kepemilikan Tanah: Pemikiran Amatir Pencari Keadilan