Aku, Lingkungan, dan Kamisan
Sumber: Jakartanicus
Kakiku melangkah pasti setiap datang sore hari menuju depan bangunan putih biang oligarki yang monarki. Sambil menuruni transportasi umum masyarakat kelas pekerja, aku selalu bertanya dalam hati, “Mengapa setiap datang ke Aksi Kamisan selalu hujan ya?”. “Biarlah alam yang menjawabnya,” gumamku.
Ya, memang biasanya setiap liburan, aku kembali ke rumah di Jakarta dan aku usahakan untuk hadir ke Aksi Kamisan, setelah sebelumnya mengenal Aksi Kamisan Semarang. Belajar dan berempati tentang berbagai kasus kemanusiaan yang diabaikan oleh negara membuatku merasakan harmoni yang sama ketika terpanggil untuk menuntut negara pada Aksi Kamisan, dimanapun aku berada.
Menyuarakan isu kerusakan lingkungan di Semarang menjadi sumber ketertarikanku untuk bersolidaritas menyuarakan hak tempat hidup yang layak bagi setiap manusia.
Tenggelamnya pesisir Semarang akibat gencarnya pembangunan industri dan tol laut di Semarang, mengorbankan lebih dari 7 dusun yang kini hilang dihapus oleh banjir rob. Seketika terbesit di benakku, “Lantas, bagaimana peran pemerintah yang katanya menyejahterakan rakyat dalam setiap visi dan misinya saat mencalonkan diri menjadi penguasa?”
Turun langsung ke jalan setiap Kamis dan meminta pertanggungjawaban negara di depan kantor DPRD Jawa Tengah membuatku terkadang lelah di tengah perjuangan bersama kawan aksi yang lain. Tapi, setidaknya aku berhasil menyadarkan diriku sendiri atau bahkan kawan-kawan di kampusku bahwa pentingnya upaya menegakkan hak asasi manusia yang kini dianggap sebelah mata. Kenapa?
Seringkali aksi-aksi dianggap tak efektif dalam menyuarakan tragedi HAM karena tak digubris sedikitpun oleh pemerintah. Tentu saja pemerintah dan pihak di baliknya takut pada masyarakat dan tak mau rugi jika pada akhirnya menjawab segala pertanyaan dan tuntutan massa aksi pejuang yang mengemis keadilan.
Makna Aksi Kamisan menurutku yaitu suatu bentuk kepedulian yang muncul dari rasa empati dan simpati terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi bersamaan dengan tak adanya keadilan bagi korban hingga detik ini. Mereka yang bersolidaritas, baik secara langsung maupun di balik layar merupakan manusia yang melawan terhadap penindasan dari kecaman para oligarki yang semakin merajalela di Indonesia.
Mungkin kita hanya sebagian kecil dari orang yang lestari selama 17 tahun lebih, menyuarakan HAM yang dilanggar oleh negara dan banyak pihak. Tapi dengan perjuangan yang tak padam ini menunjukkan bahwa kita tetap bertahan di tengah gempuran kehidupan bernegara yang semakin memuaskan kaum-kaum opportunis.
Pengalaman dalam Aksi Kamisan yang paling meninggalkan jejak bagiku yaitu saat Bu Sumarsih mengajakku untuk memimpin aksi ke-825. Tentunya, itu menjadi suatu hal baru bagiku. Tapi dengan percaya bahwa Tuhan membimbing orang yang beralaskan kebenaran, maka aku berani mengambil bagian dari perjuangan bersama kawan-kawan Aksi Kamisan yang tengah bersolidaritas.
Dengan modal keberanian untuk memberikan ruang bersuara bagi kawan-kawan Aksi Kamisan saat itu, menjadikanku pribadi yang belajar lebih tangguh berpihak pada kebenaran dan selalu siap melawan ketidakbenaran.
Ada seorang bapak yang rutin datang sebagai salah satu massa Aksi Kamisan mengatakan padaku, “Kamu tadi rapi pas membawa aksi tadi. Minggu depan, kasih kesempatan ke saya ya buat bicara di tengah nanti.” Itu sepenggal pesan yang kuingat, bahwa aku bersyukur bisa berkontribusi dalam mengundang orang lebih aktif lagi dalam menyuarakan pelanggaran HAM.
Aku tinggal di dekat Tanjung Priok. Tentu saja erat kaitannya dengan Tragedi Tanjung Priok. Aku yang tadinya sangat awam dengan tragedi itu, tumbuh rasa kepedulian untuk menilik kasus tersebut lebih dalam. Menyuarakan tragedi itu pada kawan-kawan Aksi Kamisan, membuatku sadar bahwa pelanggaran HAM nyata terjadi di tempatku memijakkan kaki dan bernafas.
Salah satu sosok yang menjadi tonggak awal dalam hati kemanusiaanku adalah Bu Sumarsih. Ia satu-satunya orang yang menjadi panutanku untuk konsisten menyuarakan ketidakadilan yang dilanggengkan oleh negara dan oligarkinya.
Mendatangkan Bu Sumarsih ke diskusi daring yang diselenggarakan oleh kampusku, membuatku yakin bahwa Tuhan mendukung kerja-kerja kemanusiaanku. Dari banyaknya orang yang bersolidaritas bersama Bu Sumarsih, aku tak menyangka bisa diingat oleh beliau. Ia adalah simbol keinklusifan perjuangan untuk semua generasi.
Banyak orang yang menyimpulkan bahwa pesimis saja jika menuju umur ke-18 tahun Aksi Kamisan ini, belum ada kepastian pertanggungjawaban dari pemerintah dan pihak penyokongnya. Tapi, selama ini kita optimis dalam memupuk harapan setiap Kamis untuk menyuarakan kebenaran yang tertunda. Jadi, harapan ada setap kali kami hadir membersamai kawan-kawan Aksi Kamisan seperjuangan.
Kepedulian membuka pintu kewaspadaan bahwa suatu saat kita adalah korban atau malah sekarang sebenarnya memang korban, tapi kita tidak menyadarinya.
“Hidup Korban, Jangan Diam. Lawan!”
Komentar
Posting Komentar