Pers Kampus Kini: Dituntut Netral, Bukan Kritis


Sejatinya, kampus merupakan ruang akademik yang tak terbatasi oleh sekat-sekat apapun. Akses pengetahuan bisa didapatkan dimana-mana. Tapi, hal itulah yang menjadi pekerjaan baru bagi wartawan rakitan kampus yang hanya ingin sekadar mengetahui isu-isu kampus terlebih dahulu daripada mahasiswa lainnya. Mereka dididik secara teknis dari awal, peliputan, hingga akhir pengemasan berita. Tapi, tak mengkritisi, “Apa yang terjadi di balik ini semua?”.

Pencari dan penyebar informasi kampus yang dikader selama beberapa bulan hanya untuk mendapatkan id pers, tentu dituntut untuk menyampaikan berita dengan “netral”. Padahal, dengan sikap wartawan yang netral, justru tidak memberi pesan kemanusiaan dalam setiap beritanya. 

Pada pasal 1, kode etik jurnalistik yang diresmikan oleh Dewan Pers Indonesia mengatakan bahwa wartawan harus bersikap independen. Independen dengan netral sendiri sangat berbeda.

Melansir dari laman Aliansi Jurnalis Independen, jurnalisme independen adalah kegiatan jurnalisme yang dalam proses peliputan dan penulisan beritanya tidak melakukan keberpihakan kepada kelompok atau golongan tertentu. Pemberitaan media cenderung cover both side (dua sisi) dan mengakomodir pernyataan kedua kelompok yang berbeda. Hal ini memang perlu ada konfirmasi keduabelah pihak, sehingga ada perbandingan perspektif.

Sementara, netral artinya tidak berada dalam pihak manapun. Jurnalis yang netral, berarti hanya mementingkan teknik penulisan dan menyebarkannya pada publik. Padahal mereka mempunyai kesempatan yang lebih daripada teman-teman mahasiswa yang lain untuk menyuarakan keresahan dan aspirasi yang tak tersampaikan oleh mahasiswa lainnya yang tak punya ruang menulis dalam pers kampus.

Berpihak pada kebenaran merupakan tonggak naluriah seorang manusia yang berkemanusiaaan. Bukannya, karena wartawan harus netral, sehingga tak berpihak pada korban yang tak bisa bersuara.

Tujuan utama yang sejati dari mahasiswa rakitan pers kampus yang masih “takut-takut dikriminalisasi tulisannya”, adalah menyampaikan dan memantik kawan sejawatnya, terlebih lagi mengkritik hal yang salah, serta menginvestigasi masalah yang janggal dalam kampus. Barulah, tindakan menuju proses peliputan itu mengedepankan sikap yang independen, atau tak berhak diintervensi siapapun.

Para reporter kampus yang sudah “senior”, tentu sering mengingatkan pada reporter baru untuk berhati-hati dalam mengkritik kampus. Proses yang rumit dalam menemui birokrat kampus, pengumpulan bukti yang perlu runtut dan jelas memang menjadi tolak ukur. Tapi, hal itulah yang sebenarnya tak memerdekakan para reporter baru dalam menulis berita. Mereka tidak dilatih bersikap kritis dan hanya mementingkan pengalaman dalam meliput.

Memerhatikan struktur kata, kalimat diksi, menyusutkan keberpihakannya dalam menulis, tetapi mengedepankan kutipan narasumber tanpa dikritisi, dapat dimaknai bahwa para wartawan rakitan kampus ini sekadar menumpang nama dalam berita dan menghapus rasa kepedulian lebih dalam, dengan menepis pemikiran kritis dan investigatif seorang terpelajar.

Pembagian kerja yang jelas dan tuntutan dalam meliput di setiap acara kampus, merupakan suatu hal yang formalitas dan tak mengedepankan pesan tulisan yang mendorong aksi mahasiswa, atau setidaknya menyadarkan mahasiswa lain bahwa ada yang salah dalam diri pejabat-pejabat birokrat maupun kebijakan kampus.

Salah satu contohnya yaitu kasus gedung PGSD yang ambrol. Hal itu memang diketahui oleh banyak mahasiswa. Para reporter kampus selalu siap dan bersemangat dalam meliput itu. Tapi, tulisan yang hanya sekadar masuk dalam kolom “kilas” sehingga tidak masuk kategori in-depth news membuat situasi menjadi gamang dan tak menyelesaikan rekonstruksi yang terus-terusan bermasalah. Di sana hanya ada pemikiran logis tapi tak ada jiwa kemanusiaan yang disampaikan di dalamnya.

Ada sekat yang jelas, antara kegiatan jurnalisme yang berfungsi hanya sebagai alat penyiaran kampus, dengan aktivisme yang memihak pada publik. Sehingga, seorang jurnalis yang sebenarnya mempunyai hak istimewa mewakili teman-temannya yang telah menjadi korban penindasan pihak kampus, alhasil dipisahkan oleh jurang tentang netralitas yang tak berkemanusiaan.

Mereka tau yang diliput adalah hal yang salah dan harus dibenahi, tapi tak bisa lebih dari itu. Kembali lagi, pada masalah kemerdekaan menulis yang terbatasi oleh stigma sebelumnya. Sehingga, wartawan rakitan yang sekadar mengikut pada stigma “senior”, mentalnya terlatih dikurung dan tidak terdorong untuk bersikap kritis. Dalam prosesnya, mereka perlu memperhalus diksi agar tak menimbulkan opini sesaat. Sehingga hasil dari liputan mereka hanyalah berita ter-update yang seakan-akan resmi dari laman suara mahasiswa.***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masih Ingin Hidup di Bumi, Bukan?

Dalam Terik, Bersuara Membela Kritik yang Dikriminalisasi Oligarki

Plastic Campaigner with Environment Warriors!