Meramu Karya, Menjamu Makna Hidup

 

Pagi itu pukul tujuh. Aku bergerak untuk berangkat menuju suatu tempat. Dimana aku bisa melihat, bercengkrama, berpikir, dan merenung. Bahwa sesungguhnya, apa yang kita inginkan dari hidup?


Perjalanan dimulai. Melangkahkan kaki dan menaiki bus mini kota. Pagi itu, bersama para lanjut usia. Eyang-eyang dan seorang ibu yang terlihat hendak memasuki usia itu. 


Setelah satu jam perjalanan, aku yakinkan diri pergi menuju suatu tempat yang tak kukenal sebelumnya. Nama lokasinya yaitu Panti Werdha Rindang Asih.


Aku terharu, saat aku tiba. Banyak sekali mereka, yang berusia lanjut sedang berjemur sambil bercengkrama satu sama lain menikmati hari-harinya. Bersama kawan-kawan relawan yang lain, aku menebarkan senyum dari dalam hati sebagai tanda kepuasan diri bisa memiliki tekad untuk membagikan kasih.


Tak perlu menunggu lama, acara pun dimulai. Kita semua bersapaan saling mengenal satu sama lain. Hal itu merupakan titik awal cerita antara usia pejuang kehidupan awal dengan mereka yang telah menjadi pejuang selama lebih dari setengah abad. 


Kita saling memberikan pelajaran tentang makna hidup dan korelasinya dengan usia. Merakit obrolan sampai yang terdalam, membuat hidup ini terasa lebih mudah. Mudah mengetahui kisi-kisi dan inti dari kehidupan yang bahagia.


Setelah bercengkrama lebih dalam, kita menyanyikan tembang kenangan. Genre yang kawan-kawan usia lanjut nikmati. Proses ini singkat, tapi terasa lambat dan terus melekat dalam sanubariku. Dimana, indahnya hidup jika kita terus bersama orang-orang yang saling menguatkan dalam suasana relaksasi.


Realitanya, kita yang masih muda perlu berjuang. Jelas, seperti mereka. Mereka sudah pasti merasakan tua, tapi kita belum tentu kelak merasakan usia itu. Pesimisme? Nihilisme? Mau optimis?

Syukuri aja apa yang kamu dapati dan kerjakan di depan mata. 

Kita memang makhluk bebas. Tapi, kenyataannya kita saling memberi batasan-batasan satu sama lain. Bukan untuk menghargai, tapi menyikut. 

Hidup bukan seperti itu. Hidup itu tentang kebebasan yang menghargai sebagai bentuk rasa syukur. 


Selepas menikmati alunan musik tembang, kita menghias kanvas bersama. Mereka, yang kita panggil oma dan opa atau para eyang terlihat menikmati dalam menggoreskan garis awal mula gambaran. Tak dapat dipungkiri, gambar itu indah walau mereka usia paruh baya. Aku bersama kawan-kawan muda lainnya, masih bingung ingin lukis apa? Sama seperti makna pencarian hidup para perantau.


Selama dua jam, akhirnya yang diproses selesai. Lukisan yang melukiskan isi hati, telah berhasil untuk dijadikan prasasti. Prasasti apa? Prasasti untuk diri sendiri selama-lamanya, dan karya isi hati untuk ditatap orang yang merenunginya.


Selesai mengobrol lebih dalam, kini aku sedikit mengerti. Bahwa hidup, hanya perlu diusahakan. Apapun hasilnya, hanya perlu disyukuri. Harapan, tak bisa selalu digapai. Tapi karya, definisikan harapan yang mungkin bisa diwujudkan generasi selanjutnya. 


Semarang, dua puluh dua Januari.

Dua ribu dua puluh empat.


Aku hanya pengetik, dan kalianlah tokoh-tokoh dibalik ini.***


~

Sumber : 

Komunitas Peduly Semarang

Penulis

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masih Ingin Hidup di Bumi, Bukan?

Dalam Terik, Bersuara Membela Kritik yang Dikriminalisasi Oligarki

Plastic Campaigner with Environment Warriors!