Dalam Terik, Bersuara Membela Kritik yang Dikriminalisasi Oligarki

 

Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi. Aku berniat untuk datang pada sidang pembacaan putusan akhir atas dakwaan kepada aktivis hak asasi manusia, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang dilaporkan oleh sosok oligarki yang menganggap kritik sebagai penghinaan terhadap dirinya, Luhut Binsar Pandjaitan.

Menggunakan kereta sebagai sarana transportasi publik, aku terduduk dalam kereta menuju Stasiun Klender Baru. Jam digital pada gawaiku memperlihatkan pukul 9.00 WIB. Kini aku sudah tiba di Stasiun Klender Baru dan kakiku mulai melangkah sekitar 1 kilometer lagi ke arah Pengadilan Negeri Jakarta Timur. 

Tepat pada 20 Agustus 2021, tahun yang sama saat podcast tersebut diposting dalam akun YouTube milik Haris Azhar, Luhut Binsar menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

Hal itu tentu ada kaitannya dengan tambang emas Papua sebagai pokok kasus pada meja hijau ini.

Jauh sebelum putusan itu dibacakan, aku mendengar kabar di media, pada 8 Juni 2023, bahwa mereka dilaporkan oleh Luhut Binsar Pandjaitan atas dugaan pencemaran nama baik yang dinilai jaksa penuntut umum milik Luhut Binsar, melanggar Pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 ayat 3 Undang-Undang ITE, Pasal 14 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 dan pasal 310 KUHP Tentang Penghinaan.

Sumber: akun YouTube milik Haris Azhar

Lantas, aku menonton postingan YouTube milik Haris Azhar yang dibawa ke meja hijau tersebut. Itu semua berawal dari perbincangan pada podcast Haris Azhar yang mengundang Fatia Maulidiyanti serta Owi (nama panggilan). 

Haris Azhar adalah seorang pendiri Lokataru (Organisasi Advokasi Hukum dan HAM). Fatia Maulidiyanti adalah koordinator KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Owi adalah Divisi Advokasi Walhi Papua (Wahana Lingkungan Hidup).

Sepanjang video, mereka telah membahas tentang masalah tambang emas di Intan Jaya, Papua. 

Mahasiswa sekitar Intan Jaya, Papua telah mengajukan protes tentang beberapa dampak lingkungan yang rusak, seperti pencemaran air, tanah, udara di sekitar penambangan dan juga adanya kesenjangan ekonomi antara masyarakat adat dengan pemangku kepentingan, dalam hal ini oligarki untuk melindungi pertambangan emas setempat. 

Mereka mengungsikan masyarakat adat Papua ke tempat yang tak layak, bahkan tindakan represif itu dilakukan kepada bupati Papua daerah pertambangan tersebut.

Pertambangan emas di Papua dimiliki oleh Mining Industry Indonesia (MIND ID) yang adalah BUMN Holding Industri Pertambangan Indonesia, beranggotakan PT ANTAM (Aneka Tambang) Tbk, PT Bukit Asam Tbk, PT Freeport Indonesia, PT INALUM, dan PT Timah Tbk.

(Keterangan foto: Suasana selama aksi dukungan di depan PN Jakarta Timur)

Sebanyak 65% saham Indonesia dimiliki oleh MIND.ID. Sekadar info, salah satu pemiliknya yaitu Budi Said yang membeli saham emas pada PT ANTAM sebesar 3,5 triliun. Di sisi lain PT ANTAM merugikan negara sebesar 92 miliar. Hal ini tentu sebagai bukti permufakatan jahat yang dilakukan oleh Eksi Anggraeni sebagai perantara Budi Said dengan PT ANTAM. Perusahaan tambang emas tersebut, harus membayar sebesar 1 miliar kepada Budi Said.

Dalam podcast perbincangannya, Fatia mengatakan,“Nah, yang lebih besarnya itu ada (PT) Tobacon Bela Mandiri, anak perusahaannya Toba Sejahtera Group.” Lalu, Fatia juga menambahkan bahwa, “Tobacon ini direkturnya adalah Purnawirawan TNI, namanya Paulus Prananto. Toba Sejahtera ini dimiliki sahamnya oleh salah satu pejabat kita namanya adalah Luhut Binsar Pandjaitan”, “The Lord ya”, balas Haris.

"Jadi, bisa dibilang Luhut bermain dalam pertambangan-pertambangan yang terjadi di Papua, hari ini”, tungkas Fatia.

Dari pembahasan itulah aku menyadari bahwa ada salah paham disana. Saksi Luhut Binsar menyatakan bahwa ini adalah penghinaan dalam media massa.

Tapi dari sisi dua aktivis ham itu menyatakan bahwa, hal ini termasuk kritik kepada pemerintah yang dimana orang – orang dalam instansi pemerintah itu, melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat adat Papua yang lingkungannya terdampak tambang emas.

Kembali pada situasi di tengah terik matahari pada 8 Januari 2024, di depan Pengadilan Negeri Jakarta Timur telah berkumpul lautan manusia sekitar seratus orang lebih dari pukul 9.00 WIB. Disana terdapat ratusan mahasiswa, puluhan wartawan, ratusan pekerja organisasi non-pemerintah, perwakilan masyarakat adat Papua, para relawan kemanusiaan, dan ratusan buruh.

(Keterangan foto: mahasiswa dari Papua yang berorasi di atas mobil komando selama aksi dukungan)

Mereka berdatangan atas nama masyarakat sipil yang memerjuangkan hak asasi manusia, mendukung pertaruhan 2 nyawa yaitu Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti.

Lalu, adapula beberapa lembaga yang mengadvokasi dan mendukung selama proses sidang maupun jauh sebelum sidang ini digelar, seperti: KontraS, Lokataru, YLBHI, LBH Jakarta, Walhi, Green Peace, Koalisi Bersihkan Indonesia, Aksi Kamisan, KASBI, Komite Politik, dan masih banyak lagi.

Mereka menyatukan energi untuk menuntut keadilan isu Papua terkait pelanggaran hak asasi manusia dan kerusakan lingkungan akibat tambang, sambil menunggu mulainya sidang yang akan dilaksanakan pada pukul 10.00 WIB.

Yang ditunggu tiba, pada pukul 9.46 WIB Haris Azhar yang saat itu masih menyandang sebagai terdakwa nomor 202 datang diiringi keluarga dan pengacara ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur. 

(Keterangan foto: Keluarga Haris Azhar yang datang ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur)


Kenapa di Jakarta Timur? Ya, karena pengadilan itu yang paling terdekat dari rumah Haris Azhar yang tinggal di sekitar Jakarta Timur. Sementara Fatia yang saat itu sebagai terdakwa nomor 203, sudah sampai terlebih dahulu ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur. 

Suasana ricuh tapi berlangsung damai, dirasakan oleh para pendukung kedua aktivis ham tersebut. Kini jam menunjukkan pukul 10.00 WIB, dan sidang akhirnya dimulai. Aku memasang posisi yang tepat dan nyaman untuk berdiri di tengah kerumunan masyarakat.

Mengawali diri dengan menyiapkan mental dan fisik, akhirnya aku mulai mendapat posisi yang menurutku strategis yaitu tepat di bawah mobil komando. Selembaran yang bertuliskan, “Kita berhak kritis!”, aku dapatkan dari mereka yang menyebarkan dalam aksi dukungan itu.

Selama kurang lebih empat puluh lima menit pertimbangan sidang dibacakan, kini tiba saatnya keputusan akhir. Sambil memegang selembaran itu yang menghadap pada pengendara bahu jalan depan pengadilan, aku mendengarkan dari pengeras suara di atas mobil komando yang menyuarakan suara sidang di dalam.

Suara itu berbunyi, "Menimbangkan karena tidak terbukti, maka tidak terbukti secara sah, maka pada para terdakwa diputus bebas," kata Ketua Majelis Hakim Cokorda Gede Arthana.

Ia pun melanjutkan bahwa, "Apa yang diperbincangkan bukanlah termasuk dugaan penghinaan. Tidak memenuhi unsur hukum. Tidak terbukti dalam dakwaan pertama dan bebas atas tuntutan dakwaan," jelasnya.

"Sesuai pasal, maka terdakwa dinyatakan bebas dari segala dakwaan. Terdakwa rehabilitasi memulihkan hak kedudukan harkat dan martabatnya," bunyi putusan yang diberikan ketua majelis hakim itu, sontak membuat kerumunan massa yang memerjuangkan hak asasi manusia itu berteriak kemenangan satu sama lain, sambil berdesakan di depan gerbang.

Jam menunjukkan pukul 12 waktu Indonesia bagian barat. Disertai dengan rintik hujan kecil tapi suhu yang panas, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti keluar dari pengadilan itu setelah menangis terharu seusai sidang karena merindukan kemenangan atas rakyat semacam ini.

Sambil menyorakkan kemenangan yang diserukan oleh massa, akhirnya dua aktivis itu naik ke mobil komando yang tentu saja, aku sudah berpindah posisi ke depan gerbang. Mereka menyampaikan orasinya dengan nada yang berapi–api. 

(Keterangan foto: Fatia sebagai representatif perempuan yang berorasi di atas mobil komando)


Fatia mengawali orasi dengan memegang kencang pengeras suara. Ia berdiri sebagai sosok perempuan yang berani bersuara, orasinya berbunyi lengkap di bawah ini:

“Kawan kawan hari ini kita sudah membuktikan dan kita menang. Ini adalah kemenangan milik kita semua. Kemenangan ini bukan hanya soal Fatia dan Haris. Kemenangan ini adalah soal rakyat. Rakyat yang terus mengkritisi sikap korupsi, lingkungan hidup yang sehat dan juga segala bentuk pelanggaran hak asasi manusia.”

Ia pun melanjutkan bahwa, “Perjuangan ini tidak berakhir hari ini, kawan–kawan. Kemenangan ini bukan hanya harus dirayakan hari ini. Tapi kemenangan ini harus ditentukan dengan posisi, bahwa rakyat juga punya suara. Bahwa rakyat punya kuasa, bahwa rakyat punya posisi, dimana bahwa kita harus selalu mengawasi negara yang sewenang–wenang melakukan penindasan!”

(Keterangan video: Haris, Fatia, Pengacaranya berorasi)

Fatia, perempuan kelahiran Bandung ini melanjutkan gagasannya, “Kita hari ini sudah membuktikan bahwa kekuatan publik, kekuatan seluruh elemen masyarakat untuk dapat terbukti itu, ternyata solid untuk menguatkan dan itu menakut-nakuti para penguasa!”.

Fatia berpesan bahwa, “Kekuatan ini harus dijaga konsistensinya, tidak boleh hanya berhenti sampai hari ini saja. Kita mungkin tidak boleh masuk ke dalam sana, tetapi jiwa, doa, dan raga kita akan selalu berada pada keadilan, demokrasi, dan juga hak asasi manusia, karena selama pemberitaan dan pelanggaran ham itu masih ada, dan kita harus terus berjuang! Jangan sampai suara kita terus dibungkam dan kita harus terus melawan! Melawan segala bentuk penindasan, oligarki, nepotisme, korupsi, kolusi, dan nepotisme!”

Ia pun menutup orasinya dengan bersuara, “Hidup rakyat! Hidup buruh! Hidup mahasiswa! Hidup perempuan! Hidup Papua!”

(Keterangan foto: Fatia tengah berorasi)

Massa pendukung ham yang menonton orasi tersebut, berdecak kagum karena orasi kemenangan yang dibawakan oleh perempuan usia 30-an, yang telah melewati proses persidangan selama 8 bulan bersama Haris Azhar.

Kini giliran Haris Azhar dalam orasinya, dengan gagah berani ia bersuara di atas mobil komando, berbunyi, “Setiap perjuangan, pasti ada hasilnya. Tapi sebelum keputusan dibacakan, kita sudah menang. Apa yang kita menangkan? Bahwa kita melawan!”

Haris berpesan bahwa, “Anda jangan pernah menyerahkan ini kepada polisi, capres. Kita berhak merebut hak kita. Meski kita berkeringat, kita harus melawan!”

Ia juga mengucapkan terimakasih kepada massa pendukung yang bersimpati untuk datang, “Terimakasih atas kedatangan teman–teman yang datang dari Bandung, Tasik, Cilacap, Jogja, dan juga teman–teman Papua.”

Haris Azhar menegaskan bahwa, “Kita datang kesini karena ada kejahatan pada republik ini. Republik ini punya kita, dan kita tidak terhitung jumlahnya, kita harus memerjuangkan hak asasi kita!”

(Keterangan foto: Haris sedang berorasi)

Pendiri Lokataru ini menutup bahwa, “Saya makin optimis, bahwa bangsa ini adalah milik kita, lewat organisasi Kamisan, AMP, Kasbi. Ingat kawan – kawan, di–intel, dijaga oleh polisi, itu tidak susah, gampang! Meski keputusan ini belum tetap, tapi biarkan ini jadi mimpi buruk penguasa. Lawan!” itulah pesannya kepada seluruh masyarakat sipil yang kini tengah menuntut akan pemenuhan hak asasi manusia.

Setelah itu, orasi dilanjut oleh pengacara Haris dan Fatia, lalu masyarakat Papua yang sebagai mahasiwa. Adapula tarian dari masyarakat adat Papua, tapi sangat disayangkan bahwa masih ada polisi yang berjaga di sisi kanan dan kiri para penari, seakan merepresi ekspresi atas kemenangan masyarakat adat.

Setelah tarian disaksikan oleh seluruh masyarakat sipil disana, mereka bersuara dengan tekad, bahwa setiap warga negara, siapapun itu, bahkan kamu yang membaca ini, berhak bersuara untuk mengkritisi segala bentuk penindasan hak asasi manusia, selama itu berdasarkan data yang benar dan sumber langsung dari masyarakat terdampak.

Orasi akhirnya selesai sekitar pukul satu siang. Massa di depan gerbang akhirnya satu persatu beranjak pulang. Termasuk aku yang kembali menuju stasiun untuk bergegas ke rumah, dari bawah matahari yang terik berdilemakan awan mendung.***

Sumber :

Penulis, di lapangan.

Azhar, Haris. 2021. Ada Lord Luhut dibalik Relasi Ekonomi-OPS Militer Intan Jaya. Jakarta: akun YouTube milik Haris Azhar.


 

Komentar

  1. Melawanlah atas penindasan, untuk melawannya bukan hanya kita tapi semua yang harus pergi untuk melawan!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masih Ingin Hidup di Bumi, Bukan?

Plastic Campaigner with Environment Warriors!