Serunya Melestarikan Kebudayaan Bagi Anak Usia Dini di Era Globalisasi


Sumber: dok pribadi

Inilah ceritaku, anak muda biasa yang sangat mencintai kebudayaan Indonesia. Banyak cerita masa kecilku yang menggambarkan bahwa banyak yang telah kulakukan untuk melestarikan kebudayaan Indonesia. Mulai dari menjadi perwakilan lenong bocah di GBK Senayan saat kelas 5 SD hingga menjadi kepanitiaan “Festival Dolanan Anak” bersama teman-teman universitasku. Baik, aku akan menceritakan dua pengalamanku  itu dalam mengupayakan pelestarian kebudayaan Indonesia.

Sekitar 2015 lalu, jauh saat aku menduduki bangku sekolah dasar, aku mulai memiliki ketertarikan pada dunia seni teater. Setelah aku menggeluti banyak latihan dan tentunya tantangan, pada suatu saat aku terpilih untuk mewakili sekolah tampil sebagai sosok “enyak” (yang dalam bahasa Betawi disebut ibu). Aku benar-benar terkejut dan bingung. Bagaimana agar aku bisa tampil maksimal di tengah banyak orang? Maka, satu-satunya cara yaitu latihan dengan rajin dan efektif.

Sebelum latihan, tentu aku riset kecil terlebih dahulu tentang “Apa itu Lenong Betawi?”. Kebetulan aku tinggal di Jakarta saat itu, maka mengetahui dan menampilkan seni itu di hadapan banyak orang ibukota, tentu bukanlah hal yang mudah bagi anak seusia SD. Setelah aku riset tentang budaya dan karakter Masyarakat Betawi, ternyata mereka memiliki sikap yang cenderung keras dan “nyablak” yang berarti berbicara dengan keras dan bernada ala Betawi.

Tak hanya karakter Masyarakat  Betawi, tapi juga tarian, lagu, vocal , makanan daerah, dan bahasa  suku Betawi. Dengan tampil merepresentasikan lenong Betawi di hadapan banyak orang, timbullah rasa kebanggaan terhadap budaya tanah kelahiran sendiri.

Tak hanya  berhenti disitu, sekarang aku sudah beranjak dewasa dan menginjak umur 18 tahun. Itu mungkin hanya pengalaman sekitar 8 tahun yang lalu. Tapi, hal itu yang memantik semangat mewariskan budaya Indonesia hingga saat ini.

Pengalamanku untuk pertama kalinya bergabung kepanitiaan di universitas pada semester satu ini membuatku tentu bingung. Tapi, setelah mengetahui bahwa tujuan dari program kerja kepanitiaan ini untuk melestarikan permainan tradisional, sungguh membuatku senang tentunya. Berdinamika dengan teman-teman panitia lain untuk meyusun acara menjadi menyenangkan bagi anak-anak  Desa Sriwulan dengan pengadaan “Festival Dolanan Anak” atau permainan-permainan tradisional.

Banyak permainan tradisional yang dipamerkan untuk anak-anak Desa Sriwulan. Terdiri dari beberapa permainan tradisional yaitu: jalan balok kayu, bakiak, congklak, egrang batok kelapa, dan gobak sodor.

Tentunya, di era sekarang permainan-permainan tradisional tersebut sudah jarang bahkan tidak lagi terlihat di generasi sekarang. Generasi yang lahir di tahun 2012 hingga sekarang sangat disibukkan oleh kebutuhan sosial dunia digital. Tentu hal itu tidak baik bagi pertumbuhan dan perkembangan anak-anak usia dini.

Dampak dari digitalisasi sosial budaya bagi anak-anak, tentu selain psikisnya yang kurang mengalami eksplorasi lingkungan luar, tapi juga bagi budaya itu sendiri yang makin lama makin punah. Maka dari itu, keberadaan kita untuk sosialisasi tentang permainan tradisional tersebut, tentu membuat mereka senang karena menumbuhkan jiwa kreatifitas dan eksplorasi mereka terhadap lingkungan luar, terutama budaya Indonesia. Yang tak kalah pentingnya bahwa, budaya Indonesia perlu untuk ditanamkan selagi usia dini agar mereka tidak termakan zaman modern yang penuh dengan anak usia balita hingga remaja menggunakan gadget dimanapun.

Nilai-nilai luhur yang didapat dari permainan tradisional yaitu kerjasama, kekompakan, kejujuran, sportivitas, keberanian. Selain dari itu, kesehatan jasmani juga tersalurkan dengan bermain permainan-permainan tradisional itu.***

Thank you and listen to this recommendation song!

Mendengar Alam - Naura Ayu




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masih Ingin Hidup di Bumi, Bukan?

Dalam Terik, Bersuara Membela Kritik yang Dikriminalisasi Oligarki

Plastic Campaigner with Environment Warriors!