Kelam Nuraga Tragedi Tanjung Priok

sumber: sinpo.id

Melawaskan debu truk muatan, melestarikan julukan “Jakarta Keras”. Mungkin itu awal kalimat yang tepat untuk aku yang merasa Tg. Priok setiap hari akan kiamat.

Tg. Priok, tempatku tinggal selama lebih dari 10 tahun hidup di kota neo-Batavia ini. Seperti diperbudak dan dituntut, serba cepat dan keras. Bukanku mengeluh, tapi dari kejadian masa lalu.

Tepat tiga puluh sembilan tahun yang lalu, terjadi gejolak amarah disana.

Dua belas September, tahun 1984 merupakan salah satu “Tragedi Pelanggaran Hak Asasi Manusia” (HAM), tercatat oleh sejarah pada Masa Orde Baru, yang dilakukan aparat pemerintah terhadap tuan-tuan penghuni Tanjung Priok.

Tanjung Priok merupakan sebuah daerah paling pojok utara Jakarta, dimana tempat kapal-kapal nasional dan internasional berlabuh.

Jujur saja, tanpa perlu embel-embel data, yaaah termasuk salah satu daerah si Jakarta yang miskin serta kumuh. Daerah ini menjadi tempat orang-orang luar desa yang merantau, supaya mereka dapat tetap hidup di Kota metropolitan (sebentar lagi kota mati #prediksiburukku).

Tempat ini penuh sesak oleh penduduk yang mobilitasnya melewati truk muatan atau warga lokal menyebutnya “kontainer”, walau kepleset dikit lidahnya jadi “kontenerr serr” #canda.

Kronologi Peristiwa Tanjung Priok 1984
Dalam buku Bencana Umat Islam di Indonesia 1980-2000 oleh Irfan S. Awwas pada 2002 kerusuhan di Tanjung Priok ini bermula dari ribut antara Bintara Pembina Desa (Babinsa) setempat dengan warga Tanjung Priok pada 7 September 1984.

Awalnya Babinsa datang ke musala kecil bernama musala As-Sa’adah. Ia hendak memerintahkan untuk mencabut pamflet yang berisikan tulisan mengenai masalah yang dihadapi kaum muslim, juga disertai pengumuman tentang jadwal pengajian yang akan datang.

Keesokan harinya pada 8 September 1984, seorang oknum ABRI beragama Katholik yaitu Sersan Satu Hermanu, mendatangi musala untuk menyita pamflet yang dinilai berbau SARA. (Fyi, zaman orde baru itu menerapkan ideologi yang sangat “pancasilais”, so gak boleh tuh yang namanya menonjolkan agama sendiri, even di rumah ibadah sendiri, hadoehh).

Namun tindakan Hermanu dianggap menyinggung perasaan umat Islam daerah tersebut. Ia masuk ke dalam masjid tanpa melepas sepatu, menyiram dinding musala dengan air got, bahkan menginjak Alquran (😔). 

Tentu saja tindakannya tersebut membuat warga marah dan akhirnya motor Hermanu dibakar.

Sumber: Pen Inovasion

Lalu pada 10 September tahun 1984, beberapa anggota jamaah musala berpapasan dengan salah seorang petugas Koramil yang mengotori musala mereka.

Maka, terjadilah adu mulut di antara kedua pihak. Untungnya mereka dilerai oleh Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaeman, dua orang Takmir Masjid Baitul Makmur yang kebetulan lewat.

Kedua tentara itu masuk ke sekretariat Takmir Masjid untuk membicarakan masalah tersebut. Ketika mereka sedang mendiskusikannya di dalam kantor, massa di luar telah berkumpul.

Kedua pengurus Masjid ini menyarankan kepada kedua perajurit tadi supaya persoalannya disudahi dan dianggap selesai saja, tetapi warga lokal menolak saran tersebut.

Warga lokal yang sekaligus jamaah, mulai kehilangan kesabaran, lalu tiba-tiba salah seorang dari kerumunan massa menarik sepeda motor salah seorang perajurit yang ternyata seorang marinir, kemudian dibakar.

Dan mulailah tragedi Tg. Priok itu terjadi.
Maka pada hari itu juga, Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaeman beserta dua orang lainnya ditangkap aparat keamanan.

Turut ditangkap juga Ahmad Sahi, pimpinan musala tersebut dan seorang lainnya yang ketika itu berada di tempat kejadian.

Salah seorang yang ikut membakar motor bernama Muhammad nur juga turut ditangkap.

Akibat penahanan keempat orang itu, kemarahan massa yang menganggap satu saudara jamaah, menjadi kian tak terbendung, yang kemudian memunculkan tuntutan agar membebaskan mereka yang ditangkap oknum aparat.

Lalu pada 12 September tahun 1984, beberapa orang mubaligh menyampaikan ceramahnya di tempat terbuka. Mereka mengangkat berbagai persoalan politik dan sosial, termasuk kasus kerusuhan tersebut.

Di hadapan massa, Amir Biki berbicara dengan lantang, dimana ia menyampaikan ultimatum agar membebaskan para tahanan paling lambat pukul 23.00 WIB malam itu. Jika tidak, mereka akan mengerahkan massa mengadakan demonstrasi, yang berakhir kerusuhan besar di Tg. Priok.

Saat ceramah telah usai, berkumpullah sekitar 1,500 orang demonstran bergerak secara kolektif menuju Kantor Polsek dan Koramil setempat.

Sebelum massa tiba di tempat yang dituju, mereka telah dikepung dari dua arah oleh oknum pasukan bersenjata. Massa demonstran berhadapan dengan tentara yang sudah siaga tempur, seperti bapak melawan anaknya sendiri.

Pada saat sebagian pasukan mulai memblokir jalan protokol, mendadak para demonstran sudah dikepung kuat dari segala penjuru.

Lalu terdengarlah suara tembakan, kemudian diikuti oleh pasukan yang langsung mengarahkan dengan sadis, moncong senjatanya kepada kerumunan massa demonstran.

Dari segenap penjuru terdengar suara letusan senjata, tiba-tiba ratusan orang demonstran tersungkur nan berlumuran darah.
Di saat sebagian korban berusaha bangkit dan lari menyelamatkan diri, pada saat yang sama mereka ditembak lagi dengan menggunakan bazoka. 

Sehingga dalam beberapa detik saja jalanan dipenuhi jasad manusia yang telah mati dan bersimbah darah.

Sedangkan beberapa korban luka yang tidak begitu parah terus berlari panik dalam kondisi lampu yang dimatikan serentak oleh PLN.

Mereka berlindung ke tempat-tempat di sekitarnya. Tentara-tentara lain turut mengusung korban yang telah mati dan luka-luka ke dalam truk-truk militer, tembakan demi tembakan terus berlangsung tanpa henti.

Semua korban dibawa ke Rumah Sakit Militer di tengah kota Jakarta. Mengenaskannya, rumah sakit lain diultimatum untuk tidak menerima pasien korban penembakan Tanjung Priok.

Setelah seluruh korban diangkut, pastinya seusai mengikuti komando yang kejam tadi, datanglah mobil-mobil pemadam kebakaran untuk membersihkan jalan dari genangan darah korban.

Satu jam setelah pembantaian besar-besaran ini terjadi, Pangab Jenderal LB Moerdani datang menginspeksi tempat kejadian, dan daerah Tg. Priok dijadikan daerah operasi militer.

Berdasarkan catatan Komnas HAM, yang dimuat dalam data kontras, setidaknya 79 orang dalam peritsiwa tersebut menjadi korban, 55 orang mengalami luka-luka dan 23 orang lainnya dinyatakan meninggal dunia.

Sumber: Cnn.com

Selain itu puluhan orang ditangkap dan ditahan tanpa melalui proses hukum yang jelas serta beberapa orang lain dinyatakan hilang keberadaannya.

Proses hukum untuk menyelesaikan kasus ini diinisiasi oleh Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan).

Dimulai pada 23 September 1999 bahwa Komnas baru saja bertemu dan berdialog masalah tindak lanjut rekomendasi kasus Priok, dimana disepakati Komnas HAM akan mengirim surat dan menanyakan hal itu lagi kepada Presiden.

Lalu pada 10 Maret 1999 sepanjang penyelidikan Komnas HAM berkesimpulan bahwa dalam peristiwa Tanjung Priok 1984 ternyata pihak aparat keamanan telah melakukan penembakan dengan peluru tajam kepada masyarakat yang berunjuk rasa dan mengakibatkan ada korban tewas, hilang, luka dan cacat.

Sehubungan dengan pembicaraan Presiden dengan Baharuddin Lopa selaku sekretaris Jenderal Komnas HAM saat itu, Komnas HAM menyampaikan rekomendasi sebagai berikut:

a. Agar pemerintah menjelaskan kepada masyarakat secara terbuka mengenai peristiwa Tanjung Priok 1984 tersebut.

b. Agar pemerintah membantu para korban peristiwa Priok yaitu keluarga (isteri dan anak-anaknya) yang ditinggalkan korban karena mati, korban masih hidup yang diantaranya ada yang cacat beserta keluarganya dengan cara memberikan santunan dan bantuan uang dapat menjadi sumber hidup mereka.

c. Agar para pelaku dan Penanggung jawab pelanggaran HAM diselesaikan tuntas melalui jalur hukum.

Lalu 19 juli 2005, Kontras dan Komnas HAM meminta Kejaksaan Agung untuk melakukan kasasi untuk reparasi korban. Komnas HAM membuat surat kepada Presiden agar segera merealisasikan putusan reparasi tersebut.

Hingga sekarang, lawasnya kasus itu menciptakan stigma jika “orang Tg. Priok” amat brutal seperti abang-abangan. Padahal aparat sendiri yang menciptakan stigma tersebut.

Boleh Pancasilais, tapi jika pengawasannya sekejam itu dan tidak menjunjung tinggi asas kemanusiaan, apa boleh buat?

Harusnya disana konstitusi tegak berdiri menyelesaikan kasus yang hingga sekarang kabur penyelesaiannya, dan hanya diakhiri dengan tabur bunga di Jl. Yos Sudarso, Tg. Priok.



Sumber : Tempo.com 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masih Ingin Hidup di Bumi, Bukan?

Dalam Terik, Bersuara Membela Kritik yang Dikriminalisasi Oligarki

Plastic Campaigner with Environment Warriors!