Adakah Nafas Agraria di 63 Tahun Mimpi Marhaen?



Jika ingin berwelas asih dengan petani yang produksi nasi-nasimu, bisa dimulai dari meliterasikan diri tentang tanah rakyat yang dipatok "Tanah ini Milik Negara".

Paradigma pembangunan NKRI tidak pernah kapitalis liberal  sepanjang konstitusi kita masih UUD 1945 dan dasar filosofinya Pancasila serta turunan Pasal 33 Ayat 1-3, salah satunya adalah UUPA 1960.


Mengapa selalu gamang?

Memang tokoh Marhaen diketemukan Ir Soekarno di Bandung Selatan, 96 tahun silam, tetapi mimpinya baru dirumuskan secara legal 63 tahun kemudian.


Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA)-lah, yang mewajibkan negara mengalokasikan gratis lahan sawah 2 hektar atau ekuivalen dua kalinya untuk lahan kering di daerah padat penduduk untuk setiap petani dengan anggota keluarga tujuh orang, menjadi harapan mimpinya.


Itulah sebabnya setiap 24 September kita merayakan Hari Tani. Begitu lama dan penuh darah perjuangan untuk merdeka bagi bangsa Indonesia mendapatkan janji pemenuhannya. 

Dan ini tak serta-merta dapat dipenuhi negara, dari pemerintah yang satu ke yang lain, yang total kini ada tujuh rezim kepresidenan.

”Marhaen” didefinisikan dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Biography as Told by Cindy Adams, (1964)—diterjemahkan Syamsul Hadi (2018)—pada bab VI tentang Marhaenisme.


Kata Bung Karno, ”Seorang Marhaen adalah orang yang mempunyai alat-alat yang sedikit, orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri. 

Bangsa kita yang puluhan juta jiwa, yang sudah dimelaratkan, bekerja bukan untuk orang lain, dan tidak ada orang bekerja untuk dia. 


Tidak ada penghisapan tenaga seseorang oleh orang lain.

"Marhaenisme adalah sosialisme Indonesia dalam praktik.” Diungkapkan Bung Karno, dalam sistem feodalisme, raja-raja yang beralih ke imperialisme perdagangan Belanda, khas tanah jajahan, kaum proletar belum ada secara dominan. 


Mereka punya rumah ala kadarnya; punya sekop, cangkul, dan bajak. Banting tulang, memeras tenaga mereka sekeluarga, tanpa bantuan tenaga bayaran lain untuk kecukupan keperluan keluarganya.

Begitu lama dan penuh darah perjuangan untuk merdeka bagi bangsa Indonesia mendapatkan janji pemenuhannya. 


Dan ini tak serta-merta dapat dipenuhi negara, dari pemerintah yang satu ke yang lain, yang total kini ada tujuh rezim kepresidenan.


Dari penjelasan ini, dapat diduga, Bung Karno telah membaca atau familier dengan traktat terkenal dari sarjana Rusia yang dibunuh Stalin, yakni AV Chayanov (1888-1936). 


Dengan bukunya, The Theory of Peasant Economy, melawan kolektivisme komunis, ia mengadvokasi bentuk pertanian basis keluarga yang mandiri, merdeka, sejahtera, memakai tenaga keluarga dan mendayakan waktu senggang bekerja secara kooperasi di bengkel dan peternakan.

Model serupa Chayanov ini telah dipostulatkan Sajogyo tahun 1976 dalam pengantar buku Masri Singarimbun dan David Penny, Kemiskinan di Sriharjo, sebagai badan usaha buruh tani, yang menyatukan lahan gurem petani ke skala layak ekonomi bagi yang ingin tetap bertani.


Lahan dengan skala ekonomi ini dihargai pemerintah dengan sejumlah uang untuk kemudian diserahkan sebagai modal usaha industri basis desa ke eks petani yang tak ingin bertani lagi. 


Ini sebetulnya bisa mengoreksi sistem pengelolaan dana desa dengan kooperasi ala BUMDes. Kooperasi bentuknya agar kepemilikan jelas dan partisipasi warga desa lewat musrenbangdes nyata mengikutkan suara semua, termasuk perempuan dan pemuda, tak hanya monolog perangkat desa.


Dengan demikian, tangan kuasa pemerintah daerah tak perlu dan peran perangkat desa terkontrol. Juga tergantung kreativitas penggunaannya, sesuai dengan keunggulan desa dan kebutuhan warganya.

Model pertanian keluarga cukup lahan ini bukan model estate negara ataupun swasta yang cenderung padat modal dan menyingkirkan petani lokal, kearifan budaya setempat, dan masyarakat adat.


Dari pengalaman terbatas di sejumput desa di Nusantara dan pertanian ala Chayanov sebelum dilindas Revolusi Bolshevik tahun 1917 di Rusia, model pertanian keluarga ini dapat dikatakan berdaya tahan, makmur berkecukupan, dan mampu menyerap tenaga kerja dengan keuntungan yang layak, tanpa membuang banyak ke sektor kasual kota.


Marhaen dalam angka

Berapa besar jumlah kaum marhaen di Indonesia saat ini? 

Mengapa pemerintah seolah selalu gamang melaksanakan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 1-3 dan UUPA 1960yang sosialis ala Indonesia? 

Mengapa pemerintah selalu menunggu konflik agraria terjadi dan langkah antisipasi terlambat?

Marhaen sendiri sudah berganda, beranak pinak dari 59,1 juta jiwa bangsa pribumi pada 1930 (lihat: Jousairi Hasbullah, Kompas, 3/9/2018) menjadi 97,1 juta jiwa pada 1960 dan kini sudah 278.69 juta jiwa pada 2023 (BPS). 


Padahal, penduduk itu menempati wilayah berdaulat, seluas kontinen dan lautnya.

Dengan luas keseluruhan Indonesia 8,3 juta kilometer persegi (km2)—terdiri dari laut (sejak UNCLOS 1982) 6,4 juta km2 dan darat/kontinen 2,8 km2 (BPS). 


Tentu kepadatannya semakin tinggi, 99,52 jiwa/km2 pada 2023 dari 51,11 jiwa/km2 pada 1960. 


Ketergantungan penghidupannya pun kian terbatas di darat karena laut belum dikelola dengan optimal.


Pada 2023, jumlah petani —yang kebanyakan berlahan sempit tak lebih dari 0,3 hektar— dan pekerja yang berkaitan dengan kebertanian 40,69 juta jiwa. 


Dari jumlah ini, yang berusia 16-30 tahun hanya sekitar 3,95 juta jiwa (9,7 persen).

Padahal, produksi aneka pangan pokok bergantung pada mereka. 

Berarti, untuk mencukupkan pangan penduduk yang bertambah terus tergantung impor, kalau punya uang, dan ada yang menjual pangan tersebut. 

Pada 2023, jumlah angkatan kerja 138,63 juta jiwa.  Yang terserap pekerjaan penuh 92,16 juta jiwa dan kerja kasual/informal 38,48 juta. 


Sementara yang masih menganggur 7,99 juta, hanya berkurang 410.000 orang dalam satu tahun terakhir (2022-2023).

Mengapa seolah pemerintah, dari waktu ke waktu, selalu gamang melaksanakan undang-undang, khususnya UUD 1945 Pasal 33 Ayat 1-3 dan UUPA 1960 yang berspirit sosialis ala Indonesia?

Artinya, saat ini ada 87,6 juta jiwa yang butuh keadilan agraria, meliputi 40,69 juta yang sudah bekerja di sektor pertanian, 38,48 juta jiwa yang setengah menganggur, dan 7,99 juta jiwa yang menganggur. 


Jumlah ini sekitar 31 persen dari total penduduk Indonesia atau 47 persen dari jumlah penduduk produktif bekerja (15-64 tahun) yang 190,969 juta jiwa pada 2022.

Suatu jumlah yang amat besar, yang menurut terminologi Chayanov ”kelompok penanggung beban ekonomi sosial ekologikal rumah tangga bangsa”, atau ”kaum marhaen yang miskin lahan dan alat produksi”, atau kini disebut ”generasi sandwich yang menunggu didayakan kapasitasnya karena rendah tingkat produktivitasnya”.


Generasi sandwhich kelompok umur 30-60 tahun, pencari rezeki untuk warga lansia dan orang muda ini, menurut sebuah survei (BPS), sebesar 48,7 persen dari penduduk produktif Indonesia. 


Itulah besaran penduduk yang lebih kurang belum mendapatkan keadilan agraria.


Meskipun sudah mengayunkan langkah setapak lewat bank tanah obyek agraria (TORA), Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria dari Presiden Joko Widodo tampak masih setengah hati.

Apalagi, masih ada kekhawatiran akan timbulnya pencaplokan lahan oleh pihak bermodal kuat, masih adanya 212 konflik agraria pada 2022, dan 497 kriminalisasi pejuang hak atas tanah (Kompas, 9/1/2023). 

Bahkan, Komnas HAM mencatat ada 692 kasus atau empat kasus per hari pada 2023, terutama di wilayah-wilayah proyek strategi nasional (PSN), seperti terjadi di Rempang, Riau, dan Obi, Halmahera Selatan.


Menghindari mandat

Mengapa seolah pemerintah, dari waktu ke waktu, selalu gamang melaksanakan undang-undang, khususnya UUD 1945 Pasal 33 Ayat 1-3 dan UUPA 1960 yang berspirit sosialis ala Indonesia? 

Jawabannya sekurangnya dua: kekurangpahaman terhadap paradigma pembangunan dan adanya ranjau politik rezim kepentingan eksklusif sesaat.


Bagaimanapun, paradigma pembangunan NKRI tidak pernah kapitalis liberal sepanjang konstitusi kita masih UUD 1945 dan dasar filosofinya Pancasila serta turunan Pasal 33 Ayat 1-3, salah satunya adalah UUPA 1960. 


Jadi, mau tidak mau, paradigma pembangunan kita harus berspirit sosialisme berkepribadian Indonesia.

Paradigma tersebut mengutamakan tujuan perlindungan dan peningkatan kualitas warga dan penduduknya serta lingkungannya di atas sekadar pencapaian materi, apalagi pendapatan nasional per kepala. 


Dari sini, mazhab pembangunan ”menetesnya kemakmuran dari atas” diturunkan. 

Sudah banyak ukuran pencapaian dibuat oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, seperti Indeks Pembangunan Manusia dan Indeks Kebahagiaan, untuk mendukung paradigma pembangunan yang memprioritaskan manusia.


Reforma agraria yang dimandatkan UUPA 1960, dengan banyak kelebihan daripada kekurangannya, jadi syarat utama paradigma pembangunan manusia tersebut. 

Nawacita, pada periode pertama Presiden Joko Widodo, kendatipun memberi 

tekanan pada pembangunan infrastruktur di seluruh penjuru Tanah Air, dimaksudkan untuk mendukung pembangunan manusia tersebut.


Ranjau kepentingan rezim politik juga menjadi alasan penghindar mandat reforma agraria. 


Pertama, aksi sepihak PKI tahun 1963/1964, yang menyebabkan konflik horizontal partai, yang mengundang TNI masuk ke arena dan berkulminasi dengan yang  sekarang disebut dengan cap ”G30S”.


Kedua, dipeti-eskannya UUPA 1960 oleh rezim Orde Baru, sekurangnya dari 1966 hingga 1983. 


Ketiga, selama akhir Orde Baru sampai era reformasi sekarang ini, UUPA 1960 ada, tetapi silih berganti selalu ditelikung oleh berbagai TAP MPR, UU, peraturan, dan kebijakan, yang intinya berkajang pada paradigma pertumbuhan materi saja dan jauh daripada paradigma pembangunan manusia dan lingkungannya.


Menunggu terlambat


Mengapa pemerintah selalu menunggu konflik terjadi, padahal mereka sudah tahu jalan bijak untuk menghindarkan dari pelanggaran hukum dan penginjakan HAM?


Jawabannya: absennya kesepahaman visi dan misi serta rendahnya kemampuan menangkap kehendak Presiden dari pembantu-pembantunya, biasnya diskresi dari para pembantu ke aparat penegak hukum, dan tersumbatnya saluran mendengarkan suara rakyat lokal di labirin birokrasi.


Betul kata Presiden Joko Widodo bahwa masalahnya adalah soal komunikasi, tetapi juga tak kalah benarnya adalah soal memahami persoalan dan memenangi hati rakyat oleh penguasa dan birokrasinya kepentingan negara dan swasta.


Musyawarah harus diutamakan, lebih dari kekuatan alat dan perangkat. 

Turunkan pelobi dan pimpinan masyarakat daripada mengandalkan pada kuasa aparat.


Taruh utama dan pertama kebutuhan esensial rakyat setempat daripada kebutuhan pembangunan raksasa negara dan swasta. 


Belum tentu kebutuhan rakyat itu berupa uang, tak cukup dengan ganti untung sekalipun. 


Boleh jadi harkat budaya dan 

sosial lebih diperlukan (JH Boeke 1953). ***


Sumber: 

Agraria.img

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masih Ingin Hidup di Bumi, Bukan?

Dalam Terik, Bersuara Membela Kritik yang Dikriminalisasi Oligarki

Plastic Campaigner with Environment Warriors!