Antara Masyarakat Adat dan Praktik Elit Politik

 



Ilustrasi foto: KataData

   Hai-hai Sobat Budaya! Gimana kabar kalian sekarang nih? Semoga dalam keadaan bahagia dan sehat yaa. Wah, kenapa nih kita semua cocok banget disebut “Sobat Budaya” ? Kira-kira ada yang bisa nebak gak nih? Yaps, jelas banget yaa guys, kalau kita sebagai manusia berbudaya mengedepankan sifat berbudaya.

   Sebelumnya nih Sobat Budaya, apa sih konsep manusia yang berbudaya? Menurut website milik Kabupaten Pati, manusia yang berbudaya adalah seseorang yang menguasai dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai budaya, khususnya nilai-nilai etnis dan moral yang hidup dalam kebudayaan masyarakat.

   Nah, hubungan dari “Manusia yang Berbudaya” dengan “Masyarakat Adat”, tak bisa terpisahkan nih, guys (like you and me, jiakhh). Masyarakat adat berperan penting dalam sejarah pendirian NKRI  dan pengelolaan perekonomian secara  berkelanjutan. Namun, minimnya pengakuan pemerintah atas hak ulayat masyarakat adat melahirkan banyak konflik sehingga mereka merasakan dampak negatif.

   Waduhh, apa itu “Hak Ulayat”, Sobat Budaya?

   Hak ulayat merupakan hak penguasaan tertinggi dalam masyarakat hukum adat tertentu atas tanah yang merupakan kepunyaan bersama para warganya.

   But unfortunately guys, ketentuan dalam UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria ), memberikan batasan terkait dengan eksistensi dari hak ulayat masyarakat hukum adat. Adapun batasan tersebut adalah sepanjang menurut kenyataannya masih ada, sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, serta tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

   Hak ulayat berkaitan erat dengan masyarakat hukum adat karena hak ulayat merupakan wewenang dan kewajiban yang ada pada suatu masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat berbeda dengan masyarakat hukum. Masyarakat hukum adat timbul secara spontan pada suatu wilayah tertentu yang berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh pihak penguasa yang lebih tinggi serta mempergunakan sumber kekayaan untuk kepentingan sesama masyarakat hukum adat.

   Hal ini berbeda dengan masyarakat hukum yaitu suatu masyarakat yang menetapkan, terikat, dan tunduk pada tata hukumnya sendiri.

   Now, kita bahas konflik antar masyarakat, pemerintah dan pihak swasta. Hmmm… sekalian study cases yuk, Sobat Budaya!

   Deputi II Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi, meminta kepada pemerintah agar mengakui masyarakat adat dan melibatkan masyarakat adat sebagai pelaku dalam proses pembangunan.

   Menurutnya, selama ini masyarakat adat masih kerap didiskriminasi dan tersingkir dari tanahnya sendiri. Padahal, kata Rukka, tanah punya arti segalanya bagi masyarakat adat.
"Kondisi masyarakat adat sekarang masih di bawah standar hidup layak. Sering kali mereka menjadi kelompok termiskin," kata Rukka saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan, Rabu (5/8/2015)

   Padahal, pada pasal 18 B ayat 2 yang berbunyi: "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU."

   Mirisnya nih guys, ditengah gencaran proyek IKN (Ibu Kota Negara), belum ada satupun pasal dalam RUU IKN yang mengatur mengenai Masyarakat Adat. Bahkan tidak ada satupun kata “adat” di dalam draf RUU IKN, so sad huhuhu…

   Ditambah lagi nih, Sobat Budaya, minimnya Pengetahuan Masyarakat Adat tentang IKN, seperti pada pernyataan-pernyataan dari website dpr.go.id, di bawah ini:

1. Sebagian komunitas mengetahui ada rencana IKN. Sebagian lain tidak tahu.

2. Tetapi tidak memahami apa dampak yang mungkin timbul (sosial, budaya, kepastian hukum, lingkungan hidup, dll)

3. Pemerintah hanya melakukan “sosialisasi.” Sosialisasi juga seringkali hanya dilakukan kepada pemerintah di daerah dan kelompok di dalam masyarakat yang tidak selalu merepresentasikan Masyarakat Adat.

   Dalam instrument hukum internasional dan juga nasional terkait hak Masyarakat Adat, yang perlu dilakukan adalah menyelenggarakan sebuah konsultasi yang mengandaikan adanya penghormatan terhadap pendapat dan sikap Masyarakat Adat. Di sini, konsultasi yang setara adalah arena untuk menerapkan prinsip-prinsip FPIC  (Free, prior and informed consent). FPIC merupakan salah satu prinsip yang muncul dari deklarasi dan konvensi internasional. Prinsip dari FPIC yitu transparansi dan konsistensi, keadilan, akuntabilitas, dan komunikasi yang baik sebagaimana diatur dalam berbagai instrument HAM.

   Next case ya guys, FPIC dalam pembangunan pabrik semen belum dimaknai secara baik. Hal ini ditandai dengan proses penyampaian informasi yang hanya melibatkan masyarakat yang pro terhadap proyek dan pemrakarsa cenderung memaparkan dampak positif dari pembangunan. Selain itu saran, pendapat dan tanggapan dari masyarakat tidak dijadikan sebagai salah satu faktor untuk menetukan kebijakan atau keputusan terkait pendirian pabrik semen.

   Menurut kacamata Ralf Dahrendof, pada sebuah tatanan sosial yang telah terlembaga tersebut terdapat dua tipe peranan dasar, yakni yang berkuasa dan yang dikuasai. Dimana peranan yang berkuasa mempunyai kepentingan untuk mempertahankan keadaan dan yang dikuasai berkepentingan untuk membagi kembali kekuasan atau wewenang.


   Masing-masing kelompok akan terus memperjuangkan kepentingannya masing-masing. Sehingga konflik dikatakan sebagai sumber perubahan sosial pada sistem-sistem sosial (Soekanto, 1988: 78). Dahrendof mengasumsikan konflik sebagai proses yang timbul dari kekuatan-kekuatan yang bertentangan dalam struktur sosial. Konflik tersebut didorong oleh berbagai kondisi struktural. Sementara nih, hubungan antara pihak yang dominan dengan pihak yang dikuasi menyebabkan adanya oposisi kepentingan (Soekanto, 1988:80). Wahh, bisa gawat nih kalau ada kata ‘oposisi’, konfliknya bakal kuat banget nih, huhuhu…

   Penyebab dari koflik antar golongan masyarakat adat dengan kepentingan politik pemerintah/ swasta, yaitu:

1.       Pengakuan masyarakat terhadap hak ulayat masih rendah

2.       Pengabaian hak masyarakat adat dalam proses penetapan fungsi lahan

3.       Pemerintah cenderung berpihak pada investor

4.       Putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengakuan Hutan Adat, belum dijalankan.

 

Dampak konflik masyarakat adat dengan pemerintah/swasta:

1.       Masyarakat adat kehilangan tempat tinggal

2.       Masyarakat adat kehilangan mata pencaharian

3.       Pembayaran denda jutaan rupiah, yang dilakukan oleh masyarakat adat kepada pihak-pihak tertentu

4.       Penjara bulanan/tahunan bagi pelanggar peraturan pemda

   Hampir semua kampung di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, memberlakukan hal demikian (perihal denda adat). Meski sudah dilakukan mediasi di kantor polisi, denda adat tetap lebih besar nilainya.

  Bila mengurus perkara di desa, wajib menyerahkan meja oko (uang bayar jasa mediator). Besarannya tidak ditentukan, tapi semakin besar pembayaran, akan semakin besar pula jasa pengurus/mediator. Sungguh, kini uang penentu dari kemenangan pada suatu perkara. Bukan lagi akal budi dan hati nurani.

   Melangkah ke kasus lain nih, Sobat Budaya. Dari sudut pandang masyarakat adat Suku Samin, Blora, Jawa Tengah, bahwa kepentingan mereka adalah berusaha mempertahankan kelestarian Pegunungan Kendeng dari aktivitas penambangan. Pegunungan Kendeng memiliki fungsi vital bagi masyarakat Samin (Twitter @IPB Peduli Petani), diantaranya adalah:

 1. Cekungan air tanah pegunungan Karts ini mampu menyimpan air cadangan untuk musim kemarau selama 3-4 bulan;

2. Menghasilkan >300 sumber mata air untuk sungai bawah tanah;

3. Terancam hilang jika pabrik semen dibangun;

4. Pertanian bergantung pada pegunungan Kendeng;

5. 44,75% PAD Rembang ditunjang dari sektor pertanian;

6. Kekeringan, pengangguran, krisis air bersih mengancam masyarakat sekitar Pegunungan Kendeng.

   Fun Fact nih, Sobat Budaya! Suku Samin memang berbeda dengan masyarakat Jawa pada umumnya. Potret kehidupan Masyarakat Samin mengajarkan kita untuk hidup berdamai dengan alam. Manusia hidup membutuhkan alam dan hasil-hasil bumi. Oleh karena itu apa jadinya jika alam dirusak oleh manusia sendiri. Masyarakat Samin memikiran jauh kedepan. Mereka memikirkan bagaimana kehidupan anak cucu mereka kelak jika sumber mata air semakin menghilang.

   Sobat Budaya, let’s go into the deep cases, yuk!

   PT. Semen Indonesia memiliki kepentingan untuk penambahan area baru pertambangan. Selama ini PT. Semen Gresik telah beroperasi di Daerah Gresik dan Tuban. Kemudian mereka ingin memperluas wilayah pertambangan hingga memasuki wilayah Rembang dan Pati. Hal ini jelas tidak lepas dari potensi gamping yang berada di kawasan pegunungan kendeng yang dapat mendatangkan keuntungan yang besar bagi perusahaan. Pembukaan area tambang baru bisa dimaknai sebagai pembukaan ruang-ruang baru oleh perusahaan agar dapat tetap mempertahankan produksinya.

   Mirisnya guys, pemerintah mengklaim bahwa pemberian ijin penambangan kepada PT. Semen Indonesia oleh Pemerintah Kabupaten Pati sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan potensi alam yang dimiliki oleh daerah. Pada tanggal 8 Desember 2014 Bupati Pati Haryanto memberikan izin penambangan melalui Surat Keputusan Bupati Nomor. 660.1/4767/ tahun 2014 tentang izin lingkungan.

   Pemerintah ingin membawa perubahan Pati yang lebih baik melalui pembukaan investasi kepada PT. Semen Indonesia. Bupati memiliki kewenangan untuk menentukan arah kebijakan pembangunan di wilayah Kabupaten Pati. Termasuk upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembukaan investasi dengan PT. Semen Indonesia.

   Dalam pandangan Dahrendof, konflik merupakan cerminan dari tempat beradanya peranan pada asosiasi yang terkoordinasi secara imperatif dan dalam hubungannya dengan wewenang. Jabatan strukturalis yang dimiliki oleh seorang kepala daerah, memberikan legitimasi yang kuat bagi mereka untuk menggunakan wewenangnya. Masalahnya adalah kekuasaan bupati kini berbenturan dengan kekuasaan masyarakat Samin yang mengklaim wilayah tersebut sebagai tanah mereka. Dalam konsep demokrasi, kekuasaan berada di tangan rakyat. Inilah yang dijadikan pijakan bagi masyarakat samin untuk memperjuangkan nasib mereka.

   Selain memberikan dukungan melalui pemberian izin tambang, sikap pemerintah dalam memberikan dukungan terhadap aktivitas penambangan terlihat dengan diturunkannya TNI dan ABRI untuk memberikan kawalan penuh ketika para perusahaan semen hendak mendatangi lokasi pertambangan. Mereka menghalau warga yang berusaha untuk menghalangi mobil perusahan yang membawa alat berat menuju lokasi. Bahkan tidak segan mereka melakukan kekerasan dengan menyeret warga samin supaya meninggalkan lokasi. Beberapa kali mereka juga mengintimidasi warga dengan memberikan ancaman penjara jika warga tetap melakukan aksinya.

Upaya yang telah dilakukan masyarakat adat Suku Samin yaitu:

1.       Perlawanan jalur hukum

2.       Pergerakan masyarakat berupa aksi demo

3.       Penyuaraan hak-hak masyarakat adat melalui media sosial

   Negara tidak dapat mengambil SDA yang ada di wilayah masyarakat hukum adat tanpa persetujuan dari masyarakat hukum adat setempat. Meskipun demikian, hak ulayat tetap harus tunduk pada kepentingan yang lebih luas (kepentingan nasional). 

   But, more than everything guys, masyarakat adat menginginkan penyelesaian jalur hukum yang benar-benar adil. Bukan semata-mata jalur mediasi atau kekeluargaan biasa, tapi proyek merusak lingkungan dan kehidupan masyarakat adat tetap berlanjut.

   Last case nih, Sobat Budaya. Berdasarkan kronologi konflik lahan yang disusun oleh Walhi NTT, konflik ini dimulai sejak 1982. Yakni ketika Pemerintah Provinsi NTT masuk ke wilayah Besipae dengan melakukan kesepakatan kerjasama dengan masyarakat adat Pubabu-Besipae dalam pelaksanaan Proyek percontohan Intensifikasi Peternakan.

   Proyek tersebut juga melibatkan Desa Oe Ekam, Desa Mio, Desa Poli dan Desa Linamnutu. Lahan dan hutan masyarakat yang digunakan luasnya mencapai kurang lebih 6 ribu hektare. Proyek kerjasama Pemerintah Provinsi NTT dan Pemerintah Australia, dalam program Percontohan Pembibitan Ternak Sapi ini dilaksanakan dalam rentang 1982-1987. Akan tetapi proyek tersebut rupanya tidak berjalan dengan baik.

   Pada 1987, setelah Program Intensifikasi Peternakan ini berakhir, Dinas Kehutanan melaksanakan program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan (Gerhan) di wilayah Desa Polo, Desa Milo, Desa Oe Ekam dan Desa Eno Neten, Kecamatan Amanuban Selatan, di atas lahan seluas sekitar 6 ribu hektare. Selama program ini berjalan, Dinas Kehutanan Timor Tengah Selatan dilaporkan melakukan pembabatan dan pembakaran hutan adat Pubabu-Besipae seluas kurang lebih 1.050 hektare yang mengakibatkan hutan tersebut menjadi gundul. Itu terjadi pada 2003 hingga 2008.

   Nah, masyarakat adat gak mau tinggal diam dong guys. So, apa yang mereka lakukan? Yaps, pada 2008 silam, masyarakat adat melakukan aksi penolakan perpanjangan HGU (Hak Guna Usaha) program Gerhan. Sebab aktivitas pembabatan hutan alam telah mengakibatkan keringnya sumur-sumur di sekitar kawasan hutan yang selama ini menjadi sumber air masyarakat.

   Perjuangan mereka untuk tanah dan air pemberi kehidupannya tidak berhenti disitu guys. Pada 2011 masyarakat adat Pubabu-Besipae yang tergabung dalam Ikatan Tokoh Adat Pencari Kebenaran dan Keadilan membuat surat pembatalan perpanjangan kontrak Dinas Peternakan Provinsi NTT di instalsi Besipae dengan nomor surat: 03/ITAPKK/II/2011.

   Di tahun yang sama Komnas HAM mengeluarkan surat nomor 873/K/PMT/IV/2011 perihal permasalahan hutan masyarakat adat Pubabu-Besipae. Mereka menekankan, agar menjaga kawasan hutan tetap lestari. Then, apakah dengan begitu Pemda setempat tunduk, guys? Oh, sayangnya tentu tidak! (aduhduh emot terkesal-kesal).

   Kemudian, pada 18 Agustus 2020, tim gabungan aparat Satuan Polisi Pamong Praja, TNI dan kepolisian melakukan penggusuran dan perusakan rumah milik 29 KK di Besipae. Aksi tim gabungan tersebut juga dilakukan dengan melepaskan beberapa kali tembakan senjata api. Yang mana tindakan represif itu dilaporkan telah meninggalkan trauma bagi perempuan dan anak-anak adat Besipae.

   Niko Manao, warga Pubabu lainnya yang mengikuti sosialisasi kesepakatan Pemprov dan beberapa tokoh adat, meminta agar dilakukan identifikasi ulang terhadap batas-batas tanah dengan melibatkan masyarakat Pubabu. Agar memastikan tanah milik masyarakat tidak dicaplok pemerintah. Selain itu dirinya juga meminta kedepannya perlu dilakukan pertemuan lanjutan melibatkan masyarakat adat setempat.

   Wahh, begituu syulit ya guys, meluruskan benang kusut, which is dalam kasus-kasus antar masyarakat adat dan pihak yang tidak bertanggungjawab ini.

   So, ours role as a gold generation, are must to have awareness terhadap isu-isu kemanusiaan di zaman modern ini. Okey, Sobat Budaya as usual, I wanna give you a song from Dere yang berjudul "Rumah" and a video, in the below! Have a nice week, Sobat Budaya!




Terimakasih atas sumber dari:

https://www.patikab.go.id/v2/id/2012/05/25/membentuk-manusia-indonesia-berpendidikan-dan-berbudaya/#:~:text=Manusia%20yang%20berbudaya%20adalah%20seseorang,yang%20hidup%20dalam%20kebudayaan%20masyarakat

https://betahita.id/news/detail/5563/konflik-panjang-masyarakat-adat-pubabu-besipae-dan-pemerintah-ntt.html.html

https://katadata.co.id/padjar/infografik/60176fce4fa52/masyarakat-adat-dan-konflik

https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=11930

file:///C:/Users/User/Downloads/136-Article%20Text-816-1-10-20200922.pdf

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masih Ingin Hidup di Bumi, Bukan?

Dalam Terik, Bersuara Membela Kritik yang Dikriminalisasi Oligarki

Plastic Campaigner with Environment Warriors!